Disajikan pemandangan kota dari ketinggian gedung apartmennya Phuwin berpegangan pada pembatas beranda menghabiskan satu hisapan terakhir rokoknya sebelum mematikan api di dalam tembakau memutar tubuhnya menyentuh tengkuk pria yang sedari tadi menciumi bahunya.
Sepasang kornea dari balik kacamatanya Phuwin menatap kekasihnya lekat tak berkedip sekalipun angin tertiup kencang ke arahnya, mengabsen garis yang mengukir setiap bagian paras indah kekasihnya.
Ambisi mendesaknya untuk memiliki pria di hadapannya yang tengah menyisir surai hitam yang menutupi dahinya.
Pria yang baru saja menunjukkan rasa cemburu kepadanya memprotes prihal kedekatan dengan rekan bisnisnya. Phuwin terpesona sekali lagi pada Pond.
Melupakan bayang-bayang dirinya yang masih kerap merasa dijadikan peran antagonis Phuwin mengusap bibir Pond dengan telunjukknya, batinnya berbicara dalam diam semua yang ada pada Pond itu miliknya.
Bermain dengan Phuwin hal yang salah, diamnya bukan karena kalah, diamnya sebab ia ingin memiliki Pond sebagai pemeran utama.
“nghh” Phuwin melenguh saat dirasa jari-jari Pond menelusup menyentuh punggungnya dengan sedikit menggelitik di pinggangnya.
Lenguhan itu membawa Pond menarik Phuwin semakin dalam mendekap “geli” bisik Phuwin.
Phuwin bersiap diri jika malam ini harus menyerahkan dirinya untuk Pond, ia bersandar pasrah, leher jenjangnya diperlihatkan dengan sempurna dinikmati oleh bibir tebal kekasihnya.
Suara klakson dari bawah, kerlap kerlip lampu malam hari menemani kehangatam yang perlahan menjalar ke tubuh Phuwin yang mulai merespon saliva dingin di lehernya.
Kringggg
Satu panggilan masuk ke ponsel Pond menghentikan aktivitasnya meninggalkan Phuwin setelah memberi kecupan singkat di bibirnya.
“ya?”
“…”
“ha? iya aku kesana nat”
“…”
Senyumnya menyeringai menatap pantulan dirinya dari pintu kaca di hadapannya yang menembus memperlihatkan Pond sedang mengemasi barangnya. Bersiap meninggalkan Phuwin untuk kesekian kalinya untuk pemeran utama di hidup Pond.
“adek, aku harus pergi. Bimbeam papa nya ditangkap KPK, aku nemenin Nata ya”
Phuwin menyalakan koreknya membakar tembakau yang sama sudah panasnya dengan hatinya saat ini. Ternyata Phuwin yang sedang cemburu.
Persetan dengan siapa orang ketiga itu Phuwin mendorong Pond menubruk pintu kaca di hadapannya, mengerjari leher sensitif dengan meninggalkan tanda-tanda merah disana.
Tidak peduli kekasihnya memprotes akan perilakunya, yang pasti “kamu punya aku, hati-hati. Titip salam buat temen-temen kamu yang bermasalah itu” Phuwin mencium bibir Pond, melepaskan perginya kekasihnya yang mungkin malam ini akan menenangkan pemeran utama itu di atas ranjang yang panas.
“halo papa”
“…”
“iya pa, mas phuwin di apartmen. Papa jadi pakai pengacara om Sony? atau mau pakai pengacara keluarga aja pa?”
“…”
“he’em, besok mas phuwin langsung press con. Sehat-sehat ya pa”
“…”
“makasih ya pa, mas Phuwin juga sayang papa”
Sebulan berlalu dengan cepat ternyata Phuwin duduk di kursi kerjanya berputar-putar melempar lamunannya menyangga dagu yang berat.
Menghadapi media menguras energinya yang mudah lelah pesan yang ia harapkan dari Pond juga tidak kunjung tiba.
Phuwin benci perasaan ini, hatinya begitu panas menguasai kerongkongannya meninggalkan rasa mual yang hebat dalam diamnya.
“permisi”
“ya? eh mas Win, sejak kapan disitu?”
Metawin berdiri dihadapan Phuwin hanya berjarak meja kerjanya.
“gak lupakan pak Phuwin setelah press con ada meeting sama saya?”
“enggak kok, maaf ya mas capek banget jawabin media”
“but you did so great dek, i fall with you answer, smart”
Phuwin mengedikkan bahunya, menutup tirai ruangannya pertemuan hari ini cukup intensif sebab keterkaitan kerjasama rumah sakit keluarga Metawin dan perusahaannya memasukki babak serius.
Menjatuhkan dua musuhnya sudah ia lakukan kali ini satu lagi tersisa dan melelahkan baginya. Pekerjaannya menjadi tidak tenang sebab kekasihnya membuat hatinya terbakar api cemburu yang hingga hari ini mengobar.
Perbincangannya dengan Metawin bak dongeng di siang hari yang hanya membawanya pada angan-angan semu tanpa tahu arahnya kemana.
“you good?” Metawin mengambil tempat kosong di samping Phuwin menyentuh dahi hangat meski bukan karena demam “nek sakit ndak diterusin dulu, piye?”
“hmm? aku gak sakit kok mas”
“terus? capek, yaudah lanjut besok aja”
“maaf ya, aku gak konsestrasi. I got distraction”
“is everything okay? you can share as usual”
Suaranya begitu menangkan rasa panas di hatinya, bahkan hangat dari jarak keduanya membawa Phuwin sedikit merosotkan tubuh mengambil posisi nyamannya, dasinya ia longgarkan.
“gak tau, tapi ini bukan soal kerjaan”
“it’s about Pond?” tanyanya, Metawin menatap Phuwin sebagai mana ia melihat seseorang yang dekat secara batin sebab kedua kakaknya teman dekat Metawain.
Maka ia tidak ragu mengusap dahi Phuwin dengan telunjukknya mengusap kerutan yang tercipta disana saat nama kekasih hati Phuwin terucap.
“I took a pond from someone his love, my role is the antagonist, mas”
“hi, no baby. he is the true villain”
Phuwin suka menatap Metawin yang menyentuh dahinya saat ini, nyaman dan menghilangkan perlahan panas di hatinya.
Ia memejam sejenak terbersit disana persimpangan jalannya mebemukan rute baru untuk memutar lajurnya. Turn left.
Meninggalkan siang hari yang melelahkan Phuwin membayar ruangan private di bar milik Pansa tunangan Love. Dari lantai dua dengan ruangan yang ditutup kaca hitam Phuwin menyilangkan kakinya menghirup rokok dengan karyawannya dan Metawin disana seperti biasa.
Seharian tidak satu pesanpun ia terima atau dibalas oleh Pond. Pikirannya jelas kacau. Jatuh cinta tidak pernah menjadi rencananya yang kemudian menyiksanya.
Tercetak di parasnya yang tidak pernah mengulas senyum ikhlas itu mengundang perhatian pria tampan beraroma Christian Dior Eau Sauvage “dance floor?”
Metawin menawarkan rasa bahagia kala pikirannya sedang carut marut oleh simpangan yang padat oleh polusi, kemacetan one way.
Di bawah Phuwin berdiam diri sebab berada dalam tengah keramaian lantai dansa membuatnya semakin mual, tangannya kemudian ditarik keluar mencari udara segar di lorong bar dekat parkiran.
Metawin terus mencoba menghibur si kecil yang hanya peduli dengan tembakaunya, tembakau yang hanya terbakar ujungnya jatuh disisi sepatunya.
Tangan yang setengah terangkat tadi jatuh lemas, Metawin mengikuti arah sepasang mata Phuwin yang menatap pada dua pria yang sedang bercumbu di dalam mobil menyala. Mobil yang baru semalam seingatnya menjemput Phuwin di depan kantornya.
“Phuwin!” menyadarkan yang menangkap basah kekasihnya beradu kecupan panas di parkiran bar “let me kiss you” ucap Phuwin cepat, menarik bahu Metawin kasar dan mencium dengan tidak sabar.
Pond manangkapnya, setelah menyadari keberadaan dirinya. Phuwin tau ini bodoh, sekali lagi persetan setiap jalan selalu memiliki persimpangan maka ia bawa dirinya melewati persimpangan itu.
Phuwin mengikuti Metawin yang mulai membuatnya nyaman dalam permainannya yang lihai, lebih manis dari milik kekasihnya. Namun bukan itu, Phuwin ingin Pond merasakan rasa marahnya.
Dan benar Pond tidak diam dalam posisinya ia mendorong Nata, membanting pintu mobilnya.
Bertaruh dengan kesetiannya Phuwin tau jika Pond sudah jauh mencintainya jika bukan karena benalu yang ada di dalam mobil kekasihnya, tangannya ditarik kasar memisahkan Phuwin.
“what?”
“jadi bener kamu ada hubungan sama orang ini?”
“kamu gimana sama nata mas?”
Phuwin menarik laptopnya di jam dua pagi setelah diseret paksa pulang oleh Pond, bodoh. Pond membawanya pulang ke rumahnya dimana tidak mungkin menciptakan gaduh dini hari.
“kamu apa-apaan tadi?”
“talk to yourself”
“phuwin”
“pond! kamu berapa kali tidur sama nata setelah memutuskan macarin aku? ada aku marah? atau setiap kamu bohong gak bilang ketemu nata, ada aku marah sama kamu mas? nata selalu kirim aku foto kalian kalau sedang berdua”
“itu semua karena kamu terlalu mandiri, hidup sendiri, egois!”
Tidak masuk akal, Phuwin mengernyit heran dengan alasan Pond.
Tidak pantas rasanya Pond mencecarnya dengan tiga hal yang Phuwin ciptakan untuk melindungi dirinya sendiri dikala sunyi menghampirinya. Pond tau segalanya tentang masa lalunya.
Phuwin memicingkan matanya.
“kita batalin perjodohan ini atau kamu jauhi nata”
Meninggalkan Pond tanpa menoleh sedikitpun Phuwin beranjak pergi keluar dari kamar kekasihnya yang mana ia dapati tuan rumah disana sedang duduk di atas sofa memangku salah satu kucingnya.
“loh mas phuwin mau kemana?”
Cepat-cepat Phuwin mengusap air matanya “mau pulang ada urusan”
“hm, pakai supir ya kamu ndak bawa mobil ta?”
Phuwin mencium tangan pria yang akrab ia panggil om Sony dan meninggalkan rumah itu dengan pilu, sesak menyambuknya.
Pria paruh baya yang kemudian meletakkan kucingnya menaiki anak tangga, menemukan anak sulungnya sedang memijat pelipisnya.
“rene kon pond” Pond menurut pada printah papa nya mengambil kursi kosong berhadapan.
“kamu ya mas sudah dua kali ditegur papa baik-baik, papa sudah diam. Pikir mas, saiki jelasin ini” transaksi keluar masuk dana yang dipakai oleh Pond dengan kartu perusahaan.
“kon iki goblok atau ya’apa? kamu belanjakan uang perusahaan untuk foya-foya bayarin temen-temen mu yang sekarang jadi kriminal dan temen yang sudah buat kamu salah jalan ini! kasih tau papa dimana salahnya papa didik kamu?!”
“pah, maaf. Pond salah”
“cangkem mu nek dikandani omongannya sama tapi diulang terus! papa kurang apa ta mas sama kamu?”
Pond menangkap sirat kecewa yang dalam dari papa nya. Seumur hidupnya ia tidak pernah dipukul, dimaki kebutuhannya selalu, perhatianpun tidak kurang. Pond tau itu, jalannya yang salah hanya alasan ia takut gagal menjadi sebaik papa nya. Ia pecundang yang pernah Phuwin sematkan untuknya.
“jangan dikira papa gak tau, mobil baru kamu itu menang taruhan karena Phuwin sudah suka kamu. Mas kamu tau ndak anak itu mati-mati berkorban untuk keluarganya sekalipun keluarganya tidak hangat, Phuwin nolong kamu dari temen-temen yang cuma manfaatin kamu. Kon iki waras gak seh mas. Wes iki tenan terakhir, kamu berhenti ngeyel atau papa kamu pergi dari rumah. Malu papa sama almarhum mama kamu, anak lanang tapi gak punya harga diri”
Harus mulai darimana setelah ini, Pond sebenarnya ketakutan. Dua temannya tidak lagi bersamanya, dan hanya Nata yang mengenal dengan baik dirinya.
Berat menjauh dari sana, Pond diambang jurang tanpa pembatas. Teringat malam kemarin bagaimana tubuh Phuwin melindunginya dari bahaya angin malam. Masih menarik menutup jaketnya melepas ia pergi menemui Nata.
Percaya yang diberikan kepadanya tidak main-main meski lagi-lagi ia robohkan, kali ini masihkah Phuwin menerima gandengannya untuk menyebrangi markah jalan yang membawanya pada lajur lain meninggalkannya.