Ay
5 min readJun 18, 2024
the sea

Hamparan laut sejauh mata memandang membuat Phuwin termenung dalam diam, tak ia rasakan gelombang yang menghantam baja kokoh tempatnya berpijak. Ia terbawa oleh amukan air laut yang menciptakan cemas di dadanya, perlahan menggulung rasa tenang itu digantikan dengab risau yang mencekam.

Sesekali ia mengerjap, pikirannya teringat akan suaminya yang sering mengalami hal seperti ini atau ketika saat ini sedang berusaha sekuat tenaga menjaga ke stabilan jalannya kapal ini.

Dan kapten itu sedang berjalan mondar mandir memberi instruksi kepada para crew deck, staff front kapalnya, atau memelah pikirannya untuk memberi perintah para teknisi di bawah kapal.

Nara mengernyit sesekali kala, gempa susulan terus datang mengguncang kapalnya sebab gelombang air laut menjadi lebih murka dari biasanya.

Suasana begitu menakutkan, mana kala sesekali ia mengintip pada jendela kaca tak ada kilau bulan sabit yang biasa menenangkannya. Hanya silver berkilau yang melingkar di jarinya yang memantulkan cahaya yang malu-malu.

Sejenak kesadarannya dibawa untuk menguasa segala perasaan di hatinya, melukiskan paras suaminya yang berharap sedang berada di tempat yang aman di salah satu koridor yang ia sudah instruksikan.

Otaknya berfikir untuk mengenali setiap hantaman ombak, sayu terdengar suara nyanyian paus Nara mengikuti nada itu, dalam gelapnya mata yang terpejam. Paus berenang mengikuti arus kemana sonarnya bersuatan untuk menemukan gerombolan yang berenang terpisah.

Merdu itu membawa Nara menyampaikan untuk melambatkan baling-baling, tidak melawan arus dan bergerak sedikit lambat.

Lautan tidak akan marah jika diperlakukan dengan baik. Lautan akan berbisik untuk yang mau mendengarkan. Lautan akan bercerita bagi yang mampu mengenalinya. Nara lama menaklukan lautan, cintanya pada hamparan air asin yang tak putus oleh literan gelas ukur membuatnya menciptakan suasana tenang untuk setiap crew yang bekerja.

“earthquake detection has subsided, no tsunami was detected from 30,000 meters, capt” tak lama suara teknisi menginstrupsi ia yang sedang membaca navigasi, mengkontrol radio komunikasi.

Tegang ototnya perlahan mengendur, sejenak Nara memberi tugas untuk tetap tenang. Menghormati lautan yang mau mendengar setiap harapan, dan perlahan bulan sabit muncul dengan cipratan air dari kibasan ekor paus, lalu muncul menari di atas permukaan dan tenggelam lagi menghilang dalam gelapnya dasar laut.

“gelombang sudah tenang capt, jika ingin menemui suami tercinta kami berkenan” ucap salah satu asisten nahkoda Nara. Namun captain itu memilih tinggal, ia yakin bahwa suaminya akan baik-baik saja.

Semalaman suntuk tak memejamkan mata, Nara begulat dengan navigasi bersama para teknisi yang juga memberi laporan kondisi kapal itu. Tak ingin lepas dari tanggung jawab, Nara tidak beranjak dari tempatnya bekerja dengan cemas yang mendesak. Dia mencoba untuk tetap konsentrasi dengan deretan angka navigator, atau dengan catatan bagian kapal.

Sudah menjadi hal biasa menyatu pada air laut yang sesekali mengamuk, Nara meletakkan lencana bertugasnya di pagi hari dengan kesadaran yang mengawang.

Lorong-lorong yang kemudian ia susuri, kapal yang sudah biasa dikendarainya juga letak kamar yang menjadi favorite bulan sabitnya. Nara mendorong knop pintu untuk dibuka perlahan.

Sebuah hantaman dengan pelukan yang erat menyambutnya, dibarengi isak tangis yang Nara pahami sesak itu. Si sayang yang mabuk laut itu harus mengalami malam mencekam untuk beberapa saat.

“semalem tidur gak?”

Phuwin menggeleng.

Nara mendorong pintu kamar itu perlahan, setelah mendapat jawaban. Membalas pelukan itu lalu menuntun si sayang untuk duduk di pinggir tempat tidur tanpa melepas pelukan mereka.

“gakpapa itu biasa”

“kamu sering kaya gitu? aku takut nara, aku takut banget”

Luas ruas jarinya dibawa untuk menyusap punggung suaminya perlahan dengan penuh sayang ia berucap “lautan tidak pernah marah jika diperlakukan dengan baik, selama aku masih bisa melihat bulan sabit di malam hari, diguncang sekencang apapun akan bisa aku atasi. Apalagi ada kamu disini, aku gak akan buat kamu kecewa sudah mengandalkan aku sebagai kapten kapal kecil kita”

“ra…, kalau pada akhirnya kamu gak pulang aku gimana? kalau ada kaya gini lagi?”

Nara memberi jarak, menangkup paras kecil suaminya sebelum memberi jawaban penenang “kamu tau kenapa ada budaya menabur abu di lautan?”

Sekali lagi Phuwin menggeleng, dengan bibirnya yang mengerucut.

“setiap makhluk memiliki jiwa yang akan selalu hidup dimanapun berada, dan lautan yang lebih besar dari daratan adalah simbol bahwa dimana tempatnya akan selalu bisa merasakan jiwa itu. Hanya rasa yang mati, tapi jiwa kita tidak”

Mengalir sekali lagi air mata Phuwin membasahi cincin pernikahan mereka yang sedang dipakai Nara.

“jangan mati! aku gak bolehin kamu mati, kita harus bersama di waktu yang lama dan selamanya”

“iya, bulan sabit. Ngomel terus nanti aku gak bolehin kamu ikut kerja”

“bercanda terus kamu tuh! nyebelinlah. Gak mau nangis lagi!” gerutunya dibarengi decakan kesal yang menciptakan gelombang cinta pasang di hati Nara. Utuh hingga meluap, luapan yang disampaikan dengan sebuah kata rayuan untuk si bulan sabit.

“semalem aku juga takut, karena baru ini bulan sabit gak muncul. Terus aku sadar, kalau bulan sabitku juga sedang takut makanya tidak muncul. Tapi paus kesepian gak boleh takut, kan? dia bahkan hidup menua meski sendirian. Aku memejamkan mata dan seolah sedang berbicara dengan bulan sabit ini” terangnya, telunjuknya menyeka air mata Phuwin “aku bilang, tuntun aku untuk menaklukkan air laut. Dan aku mengalah, tidak melawan air laut sampai tenang dan barulah baling-baling bergerak dengan stabil. Terima kasih bulan sabit” Nar mengecup dua kelopak mata yang baru ia usap agar terpejam, dengan cinta.

Benar memang paus kesepian itu telah lama hidup, bertahan meski sendirian. Ia tak berkelompok, kehilangan habitatnya, sonarnya yang tak lazim membuatnya sendirian. Namun keahliannya dalam bertahan memberinya kisah lain yang dikenang, seperti bagaimana Nara menemui Phuwinnya yang sedang menunjukkan muram sendu kelabu.

“sayang”

“sayang juga, maaf ya buat kamu takut. Semalem gimana?”

“semalem aku lemes banget, aku khwatir sama kamu, terus aku hubungin prim. Dan dia bikin aku sadar kalau jangan panik, soalnya denger suara kamu makin panik. Terus ada crew yang bawa aku ke hall gitu, habis itu aku ditemenin dia bilang kalau pasti captain Naravit bisa mengendalikan ombak, karena kamu captain paling diandalkan. Pokoknya dia cerita soal kamu kalau ada problem kaya gimana, jadi aku tenang gak lama habis itu aku dianter lagi ke kamar. Terus gak bisa tidur nungguin kamu”

“lain kali gak perlu cemas lagi, gakpapa”

“iya by the way, kamu ganteng banget sih pake baju seragam hi.. hi.. hi”

Nara mengusak pipi kesayangannya, mengahapus jejak air mata itu. Dan membiarkannya membuka setiap kancing kemejanya.

“mau mandi bareng gak?”

“maulah pake ditanya”

“senyummu itu bulan sabit, mesum banget”

“biarin mau makan, makan kamu” godanya menggunakan gesture menerkam pada yang heran akan tingkah pria kecil itu.

Melepas khawatir semalaman, Phuwin meresapi suara gemericik air dari shower yang menyala tidak kencang membasahi kepalanya hingga sekujur badannya. Menetes di setiap lembut kulitnya yang bergesekan dengan milik suaminya.

Memanggut dengan lihainya disela-sela khawatir yang perlahan sembuh, karena sudah bertemu dengan pelabuhannya.