Dari ketinggian Nara melamun menatap ke bawah pemandang yang penuh hamparan hijau tanpa pesawat akan segera mendarat di tujuan akhir Chiang Rai, dengan disuguhi sunset Nara meletakkan segudang harapan disana berdoa agar tetap pada pendiriannya apapun hasilnya.
Tangan kosong untuk mencari keberadaan Phuwin iya jalani, salah satu kenalan meminjamkan mobil untuk memudahkan transportasi mencarikan penginapan terdekat dengan alamat rumah Phuwin meski belum pasti ia tau dimana persisnya Nara memupuk banyak sekali kepercayaan dirinya.
Saat tiba ia memutuskan untuk sejenak beristirahat berkeliling mengitari jalanan kota yang sunyi, lalu hatinya menuntun untuk berhenti di sebuah tempat ibadah untuk sejenak lebih dekat dengan pencipta.
Nara memarkirkan mobilnya dan menjejakkan kakinya, ia bersimpu lalu berdoa. Doa pertama ia menyebutkan nama Phuwinnya agar selalu dalam keadaan baik-baik saja diikuti dengan meminta secercah keberuntungan untuknya.
Lega hatinya setelah berdoa, Nara berkeliling sebentar di area yang tidak jauh mengambil secarik kertas lalu menuliskan sebuah harapan disana. Tangannya lihat menuliskan harapan yang sama seperti doa tadi, ia menempelkan pada dinding atap yang banyak sekali harapan-harapan lain dari pengunjung.
“aduh” Nara menabrak seseorang yang juga baru selesai menempelkan kerta itu, parasnya tidak asing tapi bukan yang ia cari “phuwin?” celetuknya
“ha? Bukan aku gemini, kamu temennya kak phuwin ya kita emang mirip banget sih. Kok gak mampir ke rumah kak?”
Nara baru inget Phuwin memiliki satu orang adik laki-laki yang sedang menempuh pendidikan di negri sebrang namun beruntung sekali mereka bertemu dengan tidak terduga. Melihat kesempatan itu Nara berdalih jika lupa alamat Phuwin lalu dengan senang hati Gemini memimpin jalan agar sampai di depan rumah.
Rumah sederhana yang selalu Phuwin ceritakan ada selokan yang Phuwin selalu ungkit karena selalu jadi alasan ia dihukum. Hatinya tergelitik geli mengingat cerita itu tapi fokusnya beralih ketika Gemini berteriak
“kak… kakak ada temenmu nih, sabar ya kak emang gak budeg anaknya” ucapnya lalu tertawa ke arah Nara. Bener ya phu adekmu lucu – batinnya.
“Phuwintang” teriaknya lagi
“adek teriak-teriak kakak lagi bantu ibu” itu suara ayah Phuwin, mirip sekali dengan Phuwin gesturnya dan cara bicaranya.
“malam om”
“temennya kakak” jawab Gemini saat ayahnya melempar tatapan penasaran.
“oh masuk… masuk nak, biasanya yang main kalau gak prim ya yorch. Seneng temen phuwin main kesini”
Nara dipersilahkan masuk ke dalam rumah yang tidak seluas rumahnya, namun banyak sekali disana medali, piala, piagam, foto keluarga hingga foto kecil Phuwin dan Gemini. Potret keluarga mereka yang masih tersusun rapi di dinding yang terlihat lapuk karena lembab.
Tidak lama Phuwin muncul sembari menggerutu “lo apa sih teriak-teriak jum” dan seketika terdiam saat melihat Nara duduk di ruang tamu.
“siapa kak?” ibu Phuwin menyusul.
“Nara tante, temen Phuwin”
“mantan bos aku” Phuwin mengkoreksi dengan datar.
Di meja makan yang hanya menamping untuk empat orang tubuh besar Nara terlihat memenuhi tempat yang membut Phuwin dan Gemini berbagi kursi dan terus beradu “geseran gak jum”
“lo geseran tang”
“gemini yang sopan ada tamu”
“kakak yang ganti-ganti nama, tuh liat telor aku diambil kakak. Ck! Males gue sama lo ya kak”
“Phuwin!” tegur sang ayah kali ini, lalu keduanya berbisik sembari tertawa cekikikan khas kakak beradik yang iseng membuat orang tua mereka kepusingan.
Tadinya hanya ingin singgah mendadak Nara diajak untuk makan malam bersama dengan makanan rumahan yang rasanya tidak asing di lidahnya. Masakan Phuwin yang dulu kerap ia santap sebagai makan siang masih sama enaknya.
“phuwin kalau masak enak, jadi makan yang banyak” jelas ibu Phuwin yang meletakkan sepotong daging di piring Nara. Seseorang di sebrang menatapnya datar saat daging itu ia suapkan ke dalam mulutnya.
Makan malam kali ini terasa lebih mahal daripada fine dining yang biasa ia santap, sesuatu yang berharga nilainya tidak bisa ia beli sekalipun ia menjual 29 lantai gedung kantornya dan sesuatu yang ia tidak pernah berikan untuk Brielle.
“ngapain kesini urusan kita udah selesai kan? Apa perlu aku bayar pencucian uang itu? Kalau iya aku perlu jual dulu seluruh organ tubuh ku nar, tiga bulan untuk aku mencari pembelinya, jadi gak perlu susah-susah nangih sampe kesini” ucap Phuwin dengan banyak sekali penekanan dalam setiap katanya, sedangkan Nara hanya mematung ia tidak sekalipun ingin membahas hal bodoh itu tapi ia tidak menyalahkan karena mungkin luka itu akan selalu Phuwin ingat.
Setelah makan malam tadi Nara begitu disambut hangat dengan obrolan yang menarik tentang masa kecil Phuwin lalu pertengkaran singkat antara kakak beradik. Terasa singkat hingga Nara harus kembali ke pinginapan, di depan gerbang Phuwin mengantarkannya tempat sekarang mereka berdiri berhadapan.
“maaf, aku minta maaf sama kamu. Harusnya dari awal aku ngomong ini ke kamu, maaf kalau sekarang terlambat. Aku kesini sama sekali gak mau apapun dari kamu, aku minta maaf phuwin”
“pulang sana”
“phuwin…”
“nar udah ya aku capek nara, kamu mau apalagi dari aku?” suaranya bergetar dengan lirih “kita dari awal bukan siapa-siapa, sebatas rekan kerja yang lalu terjebak dalam permainan anak-anak probation. Tapi itu udah berlalu, aku gak lupain itu kaya aku lupain masalalu ku yang lain, tapi aku yang pergi dari masa lalu itu. Jadi aku mohon sudah nara, fokus sama brielle tolong jaga bri” ia memohon dengan matanya yang berkaca menatap Nara sama nelangsanya, Phuwin melihat ada sesuatu disana namun hatinya terlalu sakit.
Nara tidak mau kalah kali ini ia mencoba memohon “kasih aku kesempatan buat ngomong setelah itu kamu boleh usir aku” dan diberi kesempatan itu.
“dari hari pertama aku ninggalin kamu sama bri, itu pertama kalinya aku sadar kalau aku butuh kamu. Pikirku saat itu mungkin ini terakhir sama dia jadi aku melonggarkan waktuku, aku menyesal karena punya perasaan itu. Waktu aku buat kamu malu di depan banyak orang, aku cemburu. Malamnya aku dikirimi email palsu itu tapi paginya aku lihat kamu sama yorch, ditengah kita yang perang dingin aku cemburu. Di hari kamu nampar aku, aku rasa kita sudah selesai, tapi phu ini” Nara menyerahkan origami berbentuk hati “ini punya brielle yang aku gak sengaja temuin di selipan buku diary yang kamu kasih buat bri, aku belajar dari kamu untuk tidak pamrih. Hari ini juga aku datang kesini tanpa membawa pamrih, terima ini dari brielle. Terima kasih makanannya phu, sekali lagi aku minta maaf”
Nara melangkah menjauh melajukan mobilnya pergi dari pandangan Phuwin yang sudah buram karena air mata. Ia menyeka air matanya dan duduk di salah bangku teras rumahnya, meletekkan origami itu di atas meja dan melamun menenangkan hatinya sebelum masuk ke dalam rumah.
“lo berantem ya sama temen lo itu kak?”
“sejak kapan lo disitu?”
“barusan aja tapi gue liatin lo dari tadi, lebih memperhatikan lo dari kamar” katanya lalu duduk di depan Phuwin menghalau pandangannya. “dia pasti bukan cuma mantan bos ya?”
“kepo banget”
“gak mau cerita?” Gemini menyandarkan kepalanya pada tiang penyanga rumah mereka, menamati kakaknya yang murung sampai akhirnya menceritakan panjang lebar apa yang ia alami selama bersama Nara.
“ayah sama ibu bisa lo contoh kak, kita berdua sama-sama saksi berantakannya keluarga kita dulu. Tapi mereka bertahan karena menyakini satu hal, bahwa bukan cuma soal cinta aja, ada faktor ketenangan dan rasa saling terikat. Kalau lo punya itu sama dia, kenapa lo harus gak mengakui kalau cinta kalian harus bersama? Apalagi lo sampe mempertaruhkan darah lo ngalir ke tubuh anak dia, udah tidur pikir besok lagi”
Phuwin mengangguk menjawab Gemini yang meninggalkannya seorang diri dengan origami di atas meja. Ia membuka lipatan orogami itu dan tersenyum simpul melihat tulisan tangan bri yang semakin bagus.
“my dearest love papa and paphu ….
Long time no see, bri kangen sama paphu dan papa. Papa setiap hari kerja bri selalu sendirian, paphu bri minta maaf karena mendengar obrolan orang dewasa bri dengar papa selalu marah-marah jadi paphu sudah tidak bersama papa lagi.
Paphu bri apologized for being naughty to papa and whatever the fight was, papa will be good girl and nice to papa so paphu and papa could be together again.
And to papa my heart feel so hurt when I saw papa crying every night because missed paphu.
I wish god listen bri and forgive naughty bri so we, papa, paphu and bri can play at the zoo and eat my favorite teriyaki again.
Paphu I miss you so much
Papa I wish you have many free time to play with bri.
For bri, being nice to make papa and paphu proud”
Hatinya hancurnya membaca surat itu, Phuwin terbanyang akan dirinya saat muda dulu. Kesepian dan penuh rasa bersalah karena menjadi anak yang nakal, menyalahkan dirinya saat melihat orangtuanya bertengkar, Phuwin menahan isakannya hingga kesulitan bernafas.
Bagaimana bisa ia menjadi sebodoh ini meninggalkan ingatan yang tidak baik untuk anak sekecil Brielle, menutup telinganya mendengar penjelasan Nara.
Phuwinlah yang pertama kali menolak saat Nara ingin berbicara, memutus probation mereka tanpa kesepakatan bersama, mengabaikan Nara saat kesulitan. Phuwin sama bersalahnya sekalipun Nara bertingkah lebih menyakitkan.
Ia tidak tau jika Nara sama tersiksanya dalam amarahnya yang kerap meledak Naralah yang paling kebingungan mencari ketenangan. Phuwin memutuskan untuk mengejar menemui Nara ataupun Brielle malam itu.
Tidak yakin Phuwin bertarung dengan kesadarannya saat ini saat pintu rumah Nara ia ketuk, pembantu rumah tangga yang tidak asing membukan pintu dengan panik “tuan dari semalam tidak keluar kamar phuwin, saya khawatir”
“ambilkan kunci cadangan tolong, bi. Bri dimana?”
“masih di rumah tuan Nata”
Phuwin berhasil membuka pintu kamar Nara san melihat kamar itu gelap, ia menyisir ruangan itu sebelum menyalakan lampu menemukan Nara sedang terbaring diatas tempat tidurnya meringkuh dibalik selimut, ia menepuk di lengan Nara.
“nar, belum makan ya?”
….
“nar ayo ngomong sama aku”
Si pemilik nama membuka selimutnya, menegapkan tubuhnya bertatapan dengan Phuwin yang melihatnya iba.
“can you give me hug phu?”
“come”
Rindu.
Terasa menusuk ulu hati Nara ia menciumi bahu Phuwin yang tidak bergetar seperti miliknya. Phuwin yang selalu tenang tengah memeluknya yang gusar, sentuhannya yang hangat tidak sedingin tubuhnya yang mengigil.
Tidak ada satupun yang bisa menjelaskan betapa tenangnya Nara saat ini di dalam pelukan yang tidak ia rasakan. Suara-suara yang Phuwin keluarkan seperti menimang seorang bayi yang ia rindukan menenangkan kebisingan pikirannya.
“sorry nar, i don’t know i hurt you”
“no, i was the one who wasted you, sorry phuwin”
Phuwin mengusap sekali lagi punggung yang bergetar karena tangisan yang tersedu, lalu menyeka air mata yang meninggalkan jejak.
“30 tahun kok kalah sama brielle, cengeng. Majestic harus tau kalau phuwin tangsakyuen satu-satunya vvvip yang bisa lihat CEO nya nangis gini” ledek Phuwin mencairkan suasana yang terlalu sedih, ia tidak ingin lagi terjebak dalam perasaan sedih itu.
“phuwin, sewaktu gak ada kamu kantor berantakan”
“tau, anak-anak sering ngeluh main ke tempatku. Ceritain nyebelinnya kamu, biar apa kaya gitu?”
“kamu balik lagi ke kantor?”
“gak maulah, aku maunya jabatan yang lebih tinggi dari itu ya. Enak aja masih jadi asisten doang udah makan ati gini”
“ada, kamu mau dimana asal aku bisa sama kamu”
“paphunya brielle, papa phuwin. how?”
Nara tercengang dan dibalas tawa Phuwun yang terpingkal, lalu diusaknya rambut Nara dengan lembut.
Ucapan yang membuat seseorang berfikir keras untuk mewujudkan itu karena sekarang baginya terlalu cepat, ada sebuah kepercayang yang harus Nara perbaiki agar Phuwin tidak lagi pergi karena kepercayaannya sudah ia rusak.
Namun ada perasaan lain yang sedang hinggah diantara keduanya, rasa tenang dan damai di hati kedunya.