Seperti sudah bisa membaca situasi, barang siapa yang melihat sayap yang melebar hampir dua meter di hadapan manusia yang hanya mempercayai cerita dongeng atau bahkan di hadapan yang tidak mempercayai dongeng itu akan merasa terancam ketika melihat putra dari raja lautan.
Darah seorang dewa yang mengalir tanpa campuran membuatnya menjadi sosok lain yang mencekam kala wujud aslinya ditunjukkan.
Bukan kemauannya untuk memiliki wujud yang menjadi seaneh saudaranya, Pegasus yang bertubuh kuda ia lalu menyebutnya sebuah anugerah karena masih memiliki wujud manusia dengan sayapnya yang bisa menghilang jika memang sedang tidak dibutuhkan.
Nara menyeringai dengan senyum jahil mendapati Phuwin si pemilik kamar yang tengah sibuk mengikat satu kain dan kain lainnua untuk membuat batas mereka tidur.
Kamarnya tidak luas tetapi cukup untuk dihuni dua sampai tiga orang. Lalu kain itu diikat di tengah ruangan, membelas menjadi dua bagian yang memiliki atmosfer berbeda. Karena milik Phuwin terlihat begitu terang sebab memiliki lampu dan setengah cahaya dari jendal dan milik Nara hanya setengah dari jendela.
“yakin gue gak dapet penerangan? kalau tiba-tiba gue berubah jadi iblis gimana?”
Phuwin mendelik, kakinya mundur selangkah memasak ekspresi berfikir lalu berucap “sumpah, gue gak akan bilang ke siapapun kalau ada burung di rumah ini nar”
“Morrone apa gue terlihat seperti burung?” Nara merentangkan tangannya membuat gestur seolah ia terbang dengan cekikikan karena menikmati si penakut yang memeluk ujung selimutnya di atas tempat tidur yang berderit.
“STOP!!! BIKIN GUE TAKUT” jeritnya, mengundang gelak tawa dari manusia setengah burung bagi Phuwin.
“lo aja yang penakut, gue gak makan manusia phu tenang aja. Gue seumur hidup tinggal sama Zeus, dewa langit pengendali segalanya. Dia dewa yang tegas dan bijak, gue banyak belajar tentang kehidupan yang damai disana. Setengah darah dari keturunan Hades cuma ngasih warisan kornea merah yang pernah lo lihat, selebihnya gue putera Poseidon yang diasuh oleh Zeus”
Penjelasan Nara sedikit membuat bahu Phuwin lebih tenang dan tidak terancam. Pria itu terlihat seperti biasanya, berbicara dengan lembut selalu perhatian pada sekelilingnya karena tangannya juga sibuk membantu Phuwin mengikat pembatas yang terkait di antara jendela kamar itu.
Pria itu tidak menunjukkan tanda mengintimidasi untuk Phuwin yang lalu mereka bertemu pada pembatas yang sama ujung pengait di dekat jendela. Kornea itu terlihat lagi, warna birunya laut dan merahnya dunia paling bawah.
“gue cuma penasaran lo siapa, kenapa bisa cuma dengan bersentuhan luka gue sembuh sedikit gak masuk akal karena kata ayah tidak ada yang bisa menyembuhkannya selama hati gue masih kotor” sekali lagi Nara menjelaskan dengan tenang, bahunya di sandarkan pada pintu jendela yang terbuka menyilangkan tangannya, memandangi pria di sampingnya yang sedang menggembungkan pipi tanpa alasan.
“kalau lo tau siapa gue emang kenapa?”
“rumit sih, karena perlu tau lo siapa dulu. Kalau aja lo demigod atau salah satu keturunan dewa. Perlu tau kenapa lo bisa sampai ke bumi, dan kalau ternyata lo orang biasa, ada energi yang pasti jadi incaran iblis”
“dan lo separuh dari iblis itu? artinya lo mau sesuatu dari gue?”
Nara menutar bola matanya lelah dengan cara Phuwin berfikir namun tidak bisa disalahkan karena pria itu mungkin memang tidak mengerti.
“yakin gak sih nama lo morrone bukan moron?”
“Fuck you off!” cibirnya tak kalah jengah, sebab pria itu tidak yang pertama mengolok nama terakhirnya.
“gue udah bilang, gue bahkan jauh dari kehidulan hades Phuwin! dan yang diwarisi hanya kornea merah ini, sisanya gue putra poseidon dan diasuh oleh Zeus. Artinya gue pengendali lautan dan memahami etika para olympias di olympus”
“ya sorry mana ngerti gue, jadi lo gak bakal ngebunuh gue kan?”
“morron” Nara berbisik memilih untuk mengakhiri obrolan yang membuatnya mulai jengkel pada pria kecil yang masih melemparinya dengan tatapan penuh harapan bahwa memang ia sedang tidak terancam.
Ya, meski setelah itu sepanjang malam Phuwin terus mengoceh menghujaninya dengan pertanyaan menyebalkan Nara dengan terkantuk-kantuk terus menjawab segala jenis pertanyaan itu.
Ketika kemudian Nara merasa bahwa Phuwin semakin mengenalnya pria itu semakin bungkam. Entah itu iba atau justru merasa mulai aman.
Manusia pertama yang bisa membuatnya menceritakan prosesnya dilahirkan hingga dibuang ke bumi, manusia pertama yang menolongnya ketika sekarat di bumi, manusia pertama yang tanpa disadari membuatnya betah menatapi pipi yang di kembungkan.
Nara melihat Phuwin sebagai seseorang yang bisa diandalkan untuk mrnampung cerita hidupnya yang selama ini hanya tersimpan di ujung lidah.
“lo bisa ke studio gue kalau butuh temen ngobrol nar, hmmm hidup memang seru kalau bisa dilakuin sendirian tapi gak baik juga kalau terus-terusan sendiri. Anggep aja kita teman sampai nanti waktunya pulang ke dunia lo”
“jangan menarik ucapan lo”
“jadi lo bisa berenang dan terbang?” Phuwin memiringkan posisinya memeluk guling untuk dijadikan tumpuan menatap lawan bicaranya yang tidak lelah menjawabi sejuta pertanyaan itu.
Nara yang bisa melakukan dua hal untuk terbang dan berenang, dia yang memiliki paru-paru dan insang, memiliki pena Poseidon, memgendalikan air hingga merubah warna sayapnya.
Setiap jawaban dan ceritanya selalu mendapat sanjungan bersemangat dari yang sejak tadi bereaksi penuh ekspresi. Nara memperhatikan itu sesekali juga ia terpana, puluhan orang yang sudah ia kencani tidak pernah terlihat begitu bersinar seperti pria bernama keluarga Morrone itu.
Jika bisa Nara menggambarkan sosoknya ia akan menunjuk Psike, wanita yang lebih cantik dari Afrodit yang bisa membuat Eros jatuh cinta hanya kepadanya. Satu-satu wanita yang lalu dibawa terbang menuju Olympus oleh sayap Eros sendiri.
Phuwin memiliki kesempurnaan itu, kecantikan yang membuatnya menulikan suara lolongan serigala malam ini.
Ingin rasanya Nara kembali ke Olymlus mengenalkan pria itu kepada Eros untuk mendapatkan persetujuan jika memang Phuwin begitu indah seperti Psike.
Kecantikan yang memancar bahkan airpun takut memantulkan sempurnanya paras itu.
Weekend panjang datang diminggu ini sebab besok thanksgiving tiba seluruh penjuru negri merayakan menghadiri temu bersama keluarga tetapi Phuwin disini berjibaku dengan booklet yang perlu di koreksi.
Museum bahkan sudah tutup, yang menyala hanya lampu di mejanya. Ia melingkari setiap kesalahan menulis, kurang mendetail penggambaran lukisan yang dibuat oleh rekan kerjanya.
Di kursinya yang mulai terasa panas Phuwin melirik ponselnya yang menyala, dering telfon masuk mengintrupsinya panggilan dari Nara yang sudah menelfonnya dua belas kali “halo?”
“…”
“oh gue di museum nar”
“…”
“hah?” Ia menganga seraya mematikan telfonnya, sebab dari jendela balkon tempatnya bekerja Nara sudah disana bertengger mengetuk jendela kaca untuk dibuka.
“gila ya lo?”
“dari bawah gue mirip burung onta, jadi tenang aja. Ngapain lembur?”
Sudah tidak ada takut lagi untuk Phuwin entah mengaja setelah obrolan panjang, rutin menghabiskan waktu makan siang bersama setelah malam itu ia melihat Nara selayaknya manusia biasa.
Dengan gelagat meyebalkan itu Nara membaca isi booklet pelelangan “si bodoh itu sejak kapan ayah akur dengan Zeus, konyol. Dia menggambar penuh tipuan”
“maksudnya?”
“Poseidon dan Zeus tidak pernah benar-benar akurz mereka haus untuk menjadi pemimpin sedangkan para saudara yang akan selalu kalah dengan kekuatan kedua orang itu. Tau cerita tentang trisula Poseidon yang patah? itu ulah Zeus untuk mengalahkan hak suara supaya kalah dalam kedudukan”
“terus lo berpihak ke siapa?”
“tidak ada, gue memilih turun ke bumi dan mengencani orang”
“indikasi seorang bajingan? lalu menghamili mereka dan melupakan anak-anak lo sendiri?”
“like father, like son. Sebagian dari mereka dihabisi oleh ayah, dan sisanya entah, tidak peduli”
“oke terserah, itu bukan urusan gue. Kenapa nyari gue?”
“archen sibuk, nata kembali ke atlantis jadi gue bosen”
Kebosanan itu membuat keduanya berakhir duduk di restoran siap saji dipiggil kota membeli kentang dan taco menikmati malam ramai tanpa gangguan sebab bersama Phuwin putra Poseidon itu selalu memiliki obrolan yang menghibur kemuraman hatinya.
Sampai hujan mulai turun cukup deras menciptakan kabut tebal menyelimuti jalanan yang padat. Nara berdecak meletakkan taco ditangannya “cepetan pulang ke studio dan kunci pintu”
“hah?”
“cepetan morrone”
“ya ada apa nar? ini hujan gila ya lo!”
“ares datang, kayanya dia mencium kedekatan gue sama manusia. CEPETAN” mau tidak mau Nara harus membentak si kecil yang mendadak mematung kala ia merasa manusia itu adalah dirinya yang tercium. Lalu kenapa jika tercium? kenapa ia harus lari? bahkan ketika orang-orang berteduh? Siapa Ares?
Phuwin berlarian menyatu dengan kerumunan yang berteduh menyusur jalanan untuk mencari taxi yang membawanya ke studio kecil dan menuruti perintah Nara.
Dan saat ia menyadari bahwa tatapan pria itu tadi tidak cukup tenang, Phuwin justru mencemaskan yang terpisah dengannya. Hatinya tidak tenang dan berderu, tidak mau jika pria menyedihkan itu harus dihabisi sekali lagi.
“poseidon, save your son. I’m beg you” gumamnya tepat di depan genangan air yang lalu ia pijak. Kata Nara Poseidon selalu mendengar di setiap air murni yang menggenang.
Di bayangan air itu Phuwin untuk pertama kalinya percaya dengan setulus hati tentang para dewa dewi langit yang menguasai segala elemen kehidupan, hanya untuk mendoakan keselamatan seorang manusia setengah burung yang berdarah Hades dan Poseidon.