Ay
3 min read3 days ago
Satu tahun

Satu tahun berlalu. Tujuh bulan usia bayi yang baru merangkak di atas matras ruang keluarga. Rumah baru yang dibangun sendiri oleh Naren untuk Kenny setelah pernikahan mereka.

Dan baru tepat satu minggu lalu sebuah potret foto di koloseum menghiasi rumah mereka.

Naren mengusal pipi Kenny di pagi hari yang malas di hari sabtu.

“adek mana?”

“itu duduk di deket kaki kamu”

“hnnn pagi sayang”

“pagi nar” lalu hanya suara kecupan mesra mengundang tawa bayi itu yang di beri nama Jenny oleh kedua orang tuanya.

Persalinan kala itu berjalan dengan mulus, kesehatan putrinya sangat baik terlihat dari bagaimana aktifnya anak itu setiap saat, sekalipun sedang terpejam.

“papa punya daddy, adek sendirian” godanya untuk mengundang bayi itu merangkak ke arahnya, lalu ditangkap dalam pelukan dan mendapat kecupan menggelitik.

“selamat pagi princessnya daddy, kalau tidur kaya kipas angin. Semalem kepala daddy kamu tendang berapa kali hnn?” tanyanya gemas pada si yang sedang memekik geli karena ulah orang tua yang masih bersuara serak itu.

“MORNING EVERYBODY, BANGUN BANGUN”

Naren memutar bola matanya sebab suara Chana bagaikan petir menyambar di pagi hari yang menyebalkan, mengganggu pagi hangat yang sedang diciptakan oleh keluarga baru itu.

“misi” katanya setelah membuka kamarnya “mana mau mandiin anak aku” setiap weekend Chana akan selalu datang dan seharian bermain bersama Jenny.

Dan seperti biasanya, Chana akan membawa Jenny untuk di asuh membiarkan orang tuanya menghabiskan waktu berduaan.

“chan jangan di kasih cokelat, baru tau kemarin adek alergi”

“oh, jackson jilid dua dong, easy lah” gumamnya.

Menyisakan dua orang yang saling menatap, merengkuh sejenak dalam lenguhan malas untuk beranjak.

Kenny menyisir surai Naren perlahan, ia menghirup aroma-aroma yang membuatnya selalu inget dengan putranya setelah hampir satu tahun pergi.

Entah, tapi Naren begitu sama dengan putra mereka. Sehingga rasanya setiap rindu akan selalu diobati karena, hanya dengan kehadiran Naren bisa melihat anak laki-laki yang memimpikan basket itu selalu menemaninya.

“mau tidur lagi?”

“gak, aku cuma mau peluk. Semalem kepalaku ditendang adek ngeri itu dia nanti jadi pegulat”

“emang kenapa kalau jadi pegulat?”

“ya gakpapa, tapi ngeri aja sih”

Naren perlahan menarik dirinya untuk mempermudah menyanjung Kenny dari tatapan yang hangat.

“kalau kakak-kakaknya adek masih ada pasti setiap weekend bakal rame, belum lagi suara Chana” masih sering berandai-andai, Kenny mengusap mimik sendu itu.

“nanti juga rame kalau adek udah mulai sekolah, kita hidup dengan yang sekarang. Jangan terlalu keras sama diri aendiri”

“ini maksudnya aku kodein kamu buatin adek buat Jenny”

Kenny menatap memicing “emangnya gak capek apa hamil tuh”

“capek sih, apa gantian aku aja?”

“gak usah aneh ya naren”

Decitan ranjang yang lalu terdengar karena Kenny menggelitik Naren, menjadi energi baru untuk memulai hari-hari yang menyenangkan untuk kehidupan rumah mereka yang baru.

Tenaganya yang perlahan kalah oleh kungkungan tangan besar menghimpitnya pasrah untuk menyerahkan sebuah kecupan, kecupan yang perlahan menjadi luamtan hangat yang membawanya pada jawaban atas dasar pernikahan mereka.

Untuk Naren yang menemukan kembali sebagian dari hatinya sempat menjadi kubangan, yang lalu ditutup oleh setiap hangat sapuan tangan Kenny. Serta Kenny yang menemukan kembali kata jatuh cinta pada pria yang memberinya arti hidup luar biasa untuknya.

Janji yang satu tahun mengudara, di hadapan pusaran si kembar untuk saling memadu kasih yang hangat untuk keluarga yang baru bangun perlahan menjadi pacuan untuknya.

Untuknya yang saat ini leluasa tak menuntun untuk dicumbu melalui kata cinta tak bersuara, sebab hanya sentuhan yang mengahangatkan sekujur titik saraf yang sempat membeku akibat hujan kerap turun.

“sayang”

“iya nar”

“terima kasih sudah memberi aku hidup, yang sekali lagi lebih dari sekedar indah”

Kenny menjawab melalui sebuah kecupan, degan binar mata yang mengkilau “jangan rubuhin rasa percayaku lagi”

“iya, aku berusaha untuk itu” bisiknya tepat di bibir Kenny sebelum menlahapnya dalam satu kali lumatan.

Cumbuan panjang yang sesekali membuat Naren mendorong bahu suaminya, sejenak untuk meminta jeda bernafas dan kembali lagi bertaut.

Kenny melalui sebuah rintik gerimis, menyelipkan sebuah doa yang menumpuk di dalam kubangan yang menjadi milik suaminya saat ini.

Versi baru dari Naren yang membuatnya tidak mundur untuk terperosok pada kubangan lain, sebab pilihannya menutup lubang itu untuk bertemu lagi di tanah yang sama untuk dipijak kokoh bersama-sama.

Sakit, sudahlah menjadi cerita yang mengisi catatan dibalik setiap potret. Untuk menjadi kenagan, seperti foto besar di ruang keluarnya yang diperuntukkan untuk yang terkasih Jackson. Tidak akan pernah hilang ceritanya, melekat pada setiap setapak orang tuanya.