Ay
6 min readOct 27, 2023
Piano

Brielle mengencangkan sabuk pengaman di kursi penumpang kakinya yang menggantung lalu ia lipat dalam duduknya yang tenang. Anak itu tenang tidak banyak bicara namun sibuk mengunyah cookies yang kemarin papanya buat meski rasanya asin Brielle masih menelannya dengan sebotol susu ditangan satunya. Anaknya sudah pandai makan tidak berantakan “enak gak?”

“honest or lie answer?”

“emang papa pernah ngajarin bohong”

“ok then need more sugar pa”

Nara tertawa dari balik kemudinya mengusap kepala Brielle yang melotot karen merasa ikatan rambutnya dibuat berantakan. Setiap hari anaknya selalu mengikat rambutnya sendiri dengan jepit-jepit lucu.

Hiasan rambut yang mempercantik putrinya yang semakin hari semakin bertumbuh besar, banyak hal yang kemudian ia sadari bahwa telah melewatkan pertumbuhan itu. Ternyata Bangkok membuatnya berubah dalam mengurus Brielle, sewaktu di New York ia adalah satu-satu orang tidak pernah melewatkan pertumbuhan Brielle meski ia mendidik sedisplin Phuwin.

Putrinya yang sekarang gemar mengikuti kegiatan di luar sekolah mengumpulkan banyak prestasi dari kejuaran-kejuaran kecil hingga besar. Terlihat karena hal kegiatannya yang banyak ia kini terlihat tenang tanpa sedikitpun memiliki ketakutan.

Sepanjang dalam perjalanan Nara kerap memberi Brielle pertanyaan agar putrinya tidak melamun, belakangan memang Brielle sering melamun Nara juga mendapat teguran itu dari wali kelas di sekolah perubahan ini membuat Nara tertampar sekalagi bahwa menjadi orang tua tidaklah mudah apalgi jika egonya masih tidak terkendali. Maka yang berusaha ia ingin perbaiki adalah mencoba selalu hadir saat putrinya membutuhkan. Pekerjaan kantor ia memiliki Yorch dan Archen, Nara juga mulai membangun bonding untuk team yang ia bentuk sejak pertama tiba untuk memimpin.

Nara menyempatkan diri untuk meminta maaf di depan ruangan karyawan yang ditujukan untuk semua yang tidak merasa nyaman dengannya selama ini, ia tidak lagi ingin merusak value yang sudah ia miliki hanya karena ego yang tidak akan pernah habis ia beri makan. Sudah cukup jangan sampai kehilangan lagi.

Ia merapikan baju Brielle lalu menggandeng masuk ke dalam auditorium yang sudah banyak orangtua dan anak yang akan ikut dalam perlombaan, sebagai orang tunggal laki-laki banyak mata tertuju padanya. Nara yang tidak pernah datang menemani Brielle, Nara yang terkenal karena kedudukannya menyita banyak perhatian orang “why they are looking at?! they like monster” grutu Brielle membuat Papanya tersenyum miris, kemudian menutup mulut putrinya dengan satu tangan yang berusaha Brielle lepaskan karena tangan itu besar dan menutupi ekspresinya yang melempar tatapan tidak suka pada semua orang.

Lalu Nara mengambil kursi sesuai nomer urut hingga tiba giliran Brielle untuk tampil, karena sudah berpengalaman putrinya yang cantik itu sama sekali tidak gerogi atau rewel seperti anak sepantarannya. Brielle mamainkan tune piano dengan lihainya dibalik piano besar berwarna hitam, saat permainan berakhir semua orang memujinya. Memuji betapa hebat Brielle dan Nara yang membesarkan anak itu padahal dalam hatinya ia berbisik yang membesarkan anak itu menjadi sebuah berlian adalah phuwin.

Ketika suara gemuruh pengumuman pemenang Nara jantungan bukan main berharap itu putrinya yang bahkan sedang duduk di sampingnya santai meminum susu kotaknya “brielle lertratkosum” nama putrinya disebut sebagai juara pertama. Nara merasa begitu menyenangkan ternyata hadir diacara seperti ini untuk anaknya ada rasa bangga yang terbersit mesti ada yang kosong karena seharusnya mereka duduk bertiga disini.

“pa kayanya call card bri ketinggalan”

“papa bantu cari ya”

Yang tadinya sudah berada di dalam mobil mendadak harus turun karena ada yang ketinggalan, Nara mengandeng Brielle menyusuri setiap sudut mencari call card itu. Namun Brielle malah menemukan pensil yang jatuh menyentuh sepatunya berasa dari pria berkemeja hitam yang sudah berjalan beberapa meter di depannya. Brielle melepas gandengannya lalu berlalu membawa pensil itu “sorry” yang merasa dipanggil memutar tubuhnya mencari sumber suara yang ternyata seorang anak manis memilili tinggi sepinggulnya sedang mengulurkan pensil tadi, tapi tak lama uluran itu mengendur. Tatapan yang dipanggil tadi bergantian menatap yang di depannya dan seorang pria tinggi yang jauh disana sedang terdiam menyaksikan.

Di koridor auditorium dengan angin yang berhembus sore itu Phuwin mangambil pensilnya dari genggaman tangan kecil yang biasa ia ciumi sebelum tidur, pandangannya mendetail melihat hiasan kepala yang ia kenali bahkan baju yang dipakai anak itu “terima kasih pensilnya”

“eum” jawabnya singkat dengan matanya yang berbinar, Phuwin mengigit bibirnya menahan sesaknya “ada yang ketinggalan ya?”

“eum”

“apa yang ketinggalan?”

“my call card”

“oh the unicorn one?” bahkan Phuwin ingat milik Brielle, namun ia memilih untuk seolah tidak terlalu akrab dengan anak kecil yang sebulan lalu masih ia timang dalam tidur, ia ciumi pipinya hingga marah, melipur kesalnya karena papanya. Phuwin memilih untuk berusaha melupakan itu.

“eum”

Phuwin mengambil ponselnya ia menelfon seseorang orang menanyakan tentang call card itu dan sepertinya ia menemukan jawaban bahwa ada pada yang sedang di telfon.

“mau ikut atau tunggu disini? call cardnya ada apa teman paman”

Brielle sedih meski disembunyikan, bahkan yang dihadapannya selain terasa asing ia juga tidak menyebut dirinya sebagai paphu nya saat Brielle memilih untuk ikut juga Phuwin tidak menggandengnya karena tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dengan sengaja, sedangkan Nara melangkah sekecil mungkin mengikuti mereka dengan jarak cukup jauh.

Di dalam auditorium Phuwin menyerahkan call card yang tidak asing juga baginya ada nama yang ia rindukan juga tertulis disana “jagan meninggalkan barang lagi ya, kalau hilang kamu pasti sedih”

“iya, terima kasih”

“ya sudah hati-hati”

can i hug you”

Phuwin memberanikan diri untuk mengusap kepala Brielle namun tidak memeluknya, Phuwin tidak membenci anak itu hanya dibelakang sana ada Nara yang membuat Phuwin tidak ingin terlihat menangis. maafin paphu ya bri — batinnya. Lalu meninggalkan Brielle sendirian yang sudah berlari menghampiri Nara mengambil tangan papanya yang dingin untuk ia gandeng.

Duduk bersebelahan tanpa suara Nara membawa Brielle dalam pangkuannya setelah memundurkan kursi mobilnya “kalau sedih jangan ditahan, papa gak marah bri”

“kenapa paphu lupa sama brielle pa? bri kangen mau peluk tapi paphu gak mau peluk brielle, bri nakal ya pa?”

Yang mendengar hanya bisa diam mengusap putrinya yang menangis menjadi korban urusan orang dewasa memang menyakitkan dan sekarang ia melakukannya melukai Brielle yang tida berdosa. Anak yang tidak protes papanya sibuk, penurut dan ceria itu menjadi mudah menangis, pendiam dan kadang sering melawan.

Di cerita yang lain Phuwin memutuskan untuk bekerja lagi paruh waktu yang berhubungan dengan anak-anak yang ia mengambil job ini karena ia kira hanya ini satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan ia bertemu Brielle bersama Nata yang menemani di pertunjukan tapi ia salah sore itu ia justru melihat Brielle dan papanya yang membuat ia bingung harus bagaimana menghadapi situasi itu ia tidak ingin terlihat menangis maka dengan cerobohnya seoalah tidak mengenali Brielle yang sudah berharap untuk dihujani ciuman oleh Phuwin.

Kacau pikirannya saat ini namun ia adalah Phuwin. Memilih untuk seperti biasa mengulas senyumnya mengerjakan pekerjannya seperti hari-hari setelah tanpa Nara dan Brielle.

Ia membeli kebutuhan untuk rumah sewa yang ia sewa satu petak yang jauh dari pusat kota, tempatnya tenang tidak banyak orang mengenalnya. Di swalayan terdekat saat membeli kebutuhan dari dalam terpampang iklan yang menyala terang diatas gedung yang biasa ia lihat setiap malam seorang pemimpin dari tempat lama ia bekerja sedang berdiri diatas podium menerima sebuah penghargaan sebagai leader terbaik pelopor bisnis negri ini.

Salah satu pegawai swalayan menyikut Phuwin yang sudah menjadi temen mengobrolnya setelah pindah ke daerah sini “lo tau orang itu kan yang di iklan?”

“tau yang punya mall itu kan?”

“iya anjir gue pernah liat dia, ganteng banget mana kalau di internet beritanya positif semua layak sih menurut gue dia jadi leader. gak salah kalau sekarang perusahaan itu jadi daftar keingin orang — orang kerja disana”

Phuwin tertegun dengan ucapan orang itu ia membatin denger gak nar kamu hebat bahkan kata orang yang gak kenal kamu.

“lo coba lah kerja disana”

“gaklah gue apa lulusan sma kok mimpi kerja di tempat kaya gitu”

“coba aja, gue yakin perusahaan itu gak cari pendidikan tapi nyari skill. kata gue coba aja” jawab Phuwin lalu meninggalkan orang itu, dasar dari ucapannya adalah Phuwin mengenal seluruh isi majestic apalagi jika hanya HR yang merekrut pegawai maka ia memberi dorongan untuk orang tadi karea berkecil hati tanpa mencoba akan selalu meninggalkan penyesalan.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response