Ay
6 min readJun 24, 2024

Part of Balck Magic

//

Sudah mengajarkan tentang tanggung jawab dari sejak usia dini, bagaimana lalu Phuwin dan Nara membiasakan Nala untuk selalu memiliki gaya hidup yang bersih.

Pengalaman hidup yang lalu membuat keduanya sepakat untuk sedikit kaku, soal urusan tanggung jawab yang kini membuat Nala sudah menenteng keranjang laundry untuk di jemur setelah selesai menyapu sudut ruang kamarnya.

Rumah mereka untung tidak besar, hanya satu lantai penuh di paling atas gedung pencakar langit yang dimiliki keluarga Narayana.

Nala bersenandung sembari menjepit baju-bajunya di tali jemuran, yang dibuat oleh Nara. Dengan suara mengeong dari dua kucing ibu dan anak yang tengah di gendong-gendong oleh Phuwin, Nala melirik ke arah sana.

“pipu udah mandi?”

“udah, nala belum kan?”

“belum habis ini, jemur dulu”

Phuwin tidak lagi menjawab putrinya, melainkan menimang kucing putihnya lalu berkata “anak pipu yang harus cuma Nabi, Nala bau, Hana jelek” kalimat konfrontasi yang biasa didengar oleh yang sedang memasak nasi untuk mengisu perut mereka, mendapat helaan nafas panjang sebab setelahnya Nala berlari untuk mengusal Phuwin “Nala harum ini harum ini, muah” katanya lalu menekan pipi merah tomat yang berseri, kegelian atas tingkah putrinya yang selalu kesal jika tahta sebagai anak tunggal digeser oleh dua ekor kucing nakal peliharaan keluarga Narayana.

“dede mandi terus sarapan” suara baritone dari dapur mengintrupsi adegan yang jika tidak pisahkan akan menjadi perikataian, adu mulut dan berakhir Nala menangis.

Nala sudah berusia empat belas tahun, usia yang sangat labil dan rawan bagi dua orang tua yang membesarkan putri mereka tanpa figure seorang wanita. Namun syukurnya Jane dan Chanie dua tante yang kerap dipanggil Nala sebagai Angle Jane dan Tante Chanie itu, selalu hadir dua puluh empat jam setiap moment yang di butuhkan.

Kehangatan itu lantas menciptakan keluarga yang diidamkan oleh seorang Phuwin, ia tak pernah melewatkan hari ulang tahun putrinya, selalu memprioritaskan apa yang diinginkan gadis itu, selalu satu jalan mendidik Nala. Kehidupan yang jauh dari masa mudanya.

Dan semua itu terwujud berkat pria dewasa di hadapannya yang ia ganggu kesibukannya, Phuwin mengambil alih untuk mencoba membantu urusan dapur. Tidak hanya kali ini, namun juga tidak sering. Phuwin memotong bawang bombai untuk teriyaki yang diminta Nala.

Irisan bawang yang perlahan membakar dua eksinya, sesekali membuatnya mengerjap tak nyaman sebab air mata hampir mengalir setiap kali irisan itu terpisah dari lapisan.

“akhh!” Phuwin memekik pada bawang bombai kedua, di irisan yang terakhir. Telunjuknya terisi, bukan goresan sebab darah segar mengucur. Mengundang kepanikan oleh dua insan disana.

Nala baru saja selesai menggulung handuk di atas kepala berlari menghampiri sumber suara, ketika Nara sudah lebih dulu menarik tangan itu di bawah kucuran air mengalir.

Rengutan terlukis senada di paras ketiganya, dua khawatir dan satunya kesakitan. Perih itu membuat Phuwin mengigiti bibirnya.

“nala ambilin kotak obat ya pipu, sebentar” selalu menjadi paling perhatian, turunan dari Nara itu melekat pada putri satu-satunya. Anak itu tergesa membongkar segala barang yang menghalanginya meraih kotak obat, sedangkan lengan Nara yang lain mengusap bahu suaminya “ke dokter ya?”

“gak mau, pakai obat merah aja”

“ya sudah, tunggu Nala ambil obatnya”

Si pembawa kotak obat itu datang, meletakkan satu box berisi pertolongan pertama di atas meja, lalu duduk di lantai untuk memeluk pinggung Phuwin yang sudah di bawa di sofa ruang keluarga rumah mereka.

“pipu kalau sakit cubit Nala aja”

“yang bener aja Nala” Phuwin memicingkan matanya “sini peluk pipu, biar gak sakit” satu tangannya meraih punggung anak gadisnya dan berpelukan. Phuwin akui ia bahkan ngilu melihat darahnya yang tak berhenti.

Ketika rasa nyeri menjalar dari atas kepala hingga kakinya, saat luka itu diusap degan alkohol airnya mata menetes begitu saja, membasahi bahu Nala.

Phuwin tidak pernah tau seperti ini rasa ketika hanya luka tak disengaja membuatnya kesakitan, namun hatinya terasa begitu damai. Sebab pelukan Nala perlakuan suaminya samar membuat rasa sakit itu luntur.

Belum lagi setelah diam-diam Nala menangis karena tidak tega dengan apa yang dirasakan oleh pria yang sudah mengandungnya.

Plester sudah dibalut dan saat itu juga Phuwin tidak lagi mempedulikan apapun, yang ditangkup pipi anaknya “kok nangis de? pipu gakpapa”

“sedih, pipu pasti sakit sekali ya? Maaf ya pipu kalau Nala suka nakal, pipu jangan nangis lagi”

“ini cuma luka sayang, tapi bagus memang sebaiknya jangan nakal atau pipu tuker kamu jadi kucing”

“ish! pipu malesin”

Phuwin terkekeh kecil, punggung tangannya digunakan untuk mengusap air mata itu.

“terus papa cuma nonton aja, gak diajakin pelukan?”

“kan papa mau masakin Nala”

Nara mendegus saat itu juga. Bagaimana bisa setiap orang berkata jika Nala yang paling rekat dengannya, dengan fakta bahwa Phuwinlah yang selalu menjadi tempat Nala bermanja setiap hari.

Nala memeluk Phuwin di depan layar televisi dengan pop corn keju buatan Nara, pria dewasa yang saat ini sedang duduk di kursi sofa lain memangku laptopnya, memakai kacamata untuk membantunya membaca isi pekerjaan.

Seperti dunia yang tak sama, ketika suami dan putrinya membagi pelukan Nara sendiri dengan pekerjaannya.

Sudah biasa terjadi.

“papa”

“ya?”

“papa kerja terus”

“baca email aja de”

“papa kamu punya simpenan itu de, biarin aja nanti juga kalau udah bosen baru inget kita”

Dan selalu kalimat provokasi Phuwin yang memecah setiap konsentrasi, Nala tertawa ketika akhirnya sang papa menyerah dengan isi laptopnya dan menghimpit putrinya.

Lengan kecil gadis itu beralih untuk memeluk papanya dengan manja, tayangan disney Moana yang menjadi pilihan sajian penutup hari libur untuk keluarga kecil ini.

“papa, kayanya Nala gak cocok les balet”

“kenapa?”

“kayanya seru Nala berburu ikan aja sama Mau’i”

Remaja yang selalu acak membicarakan rasa lelahnya melalui kiasan-kiasan yang sudah ditebak kemana arah obrolannya oleh Nara “les yang Nala mau, yang tidak ya sudah. Papa fasilitasin dede ini untuk mencari tau minat dede itu apa, yang penting sekolah tidak terganggu”

“lagian sok-sokan semua mau dipelajarin” timpal Phuwin.

“dede suka bingung, kenapa dede gak punya semangat kaya temen-temen, selalu bingung setiap ditanya suka apa, jadi dede mau coba semuanya pipu”

“ya bukan begitu de, lihat setiap ujian mana yang paling enjoy sama prosesnya, itu yang ditekuni sisanya bisa dijadikan hobi”

Nala mengangguk lesu, masih dengan hatinya yang gundah. Menyaksikan Moana seolah mengetuk hatinya untuk memulai tujuannya menyusun hidupnya.

“dede mau jadi seperti pipu dan papa kalau begitu”

“seperti?”

“always calmly carry out every desire”

Dua orang itu menegapkan punggungnya untuk menatap Nala berempak “papa sama pipu gak pernah marah setiap hari kalau ada masalah, setiap papa dan pipu punya keinginan dijalankan dengan baik, menyusun dengan runtun. Setiap hari Nala merekam itu, apalagi hari ini waktu jari pipu sakit, i love the way you solve the problem, i see many love and serenity”

Nara melempar sebuah tatapan penuh rasa bangga tidak hanya pada Nala tetapi juga pada pria kecil di samping putrinya. Perjalanan yang tidak mudah saat itu, membesarkan Nala hingga penerimaan Phuwin pada buah hati mereka.

Bagaimana lalu Phuwin dijadikan contoh oleh yang paling disayang di dalam rumah mereka.

Nara mengikis jaraknya agar dekat dengan si sayang yang sedang meringkuk.

Sebuah kecupan didaratkan di pipi kenyal karena pelembab “terima kasih sudah melahirkan dan mendidik Nala”

“sudah besar rupanya anak itu, saya takut nanti dede ketemu teman yang tidak baik, terlepas dari obrolan tadi”

“biarkan anak itu memilih dan memilah, kita awasi saja ya. Tidak perlu khawatir sejak awal kita berjanji untuk berdua selamanya”

“iya tau”

“masih perih jarinya tadi?”

Nala adalah wujud Nara jika untuk urusan kelembutan, sebab selalu tak lupa untuk memperhatikan hal-hal kecil yang bisa saja dilupakan hanya perkara luka irisan.

“sedikit”

“besok pagi saya obati lagi, sekarang tidur dulu istirahat”

Remang pencahayaan di kamar mereka, yang lalu menjadi padam tamaram menyisakan dua pasang eksi yang bertemu menatap dalam gelap.

Mengintrupsi untuk sejenak meletakkan segala lelah, Nara menyambut panggutan suaminya perlahan menyentuhnya, tak buru-buru dengan lembut dirasakannya menjadi sebuah lumatan yang menyampaikan kata cinta tak bersuara.

Tenang, bersama dengan debaran yang ritmenya bersaut-sautan.

Nara dan Phuwin perlahan memejamkan mata, untuk mengingat hari pertama ciuman mereka dimulai dengan kasmaran yang masih hangat, dengan hati yang utuh, teringat kala eksi-eksi indah itu selalu menjadi lampu tidurnya.

Perlahan diperdalam sekali lagi, Nara menjelaskan bahwa yang kali ini merupakan bagaimana ia ingin selalu menjadi yang dicintai dan satu-satunya yang mencintai Phuwin.

Untuk menutup malam yang penuh romansa, Phuwin mengalungkan tangannya menekan tengkuk suaminya sebelum melepaskan tautan itu untuk meraup oksigen.

“i’m so happy, so happy because you are in my life honey. You’ve shown me a true love, your brown eyes told me everything”

“kenapa ya jatuh cinta sama bapak, bikin saya selalu merasa muda. Setiap kali bapak begini saya kembali lagi di hari-hari muda kita. I love you, you are part of my life, always sayang”

“i love you always”.