Menangis dalam tidur sudah bukan hal yang aneh ketika malam tiba. Tidur yang tidak nyenyak. Dada tercekat. banjiran keringat. Mual yang menusuk ulu hati selalu tiba setiap malam di tidur yang gelisah.
Phuwin memaksa untuk mengeluarkannya dalam jeritan yang tidak bisa disuarakan. Berakhir hanya dengan tatapan kosong yang menggerogoti separuh dari hatinya.
Move on, kata mutiara yang memuakkan bagi Phuwin yang sudah dua bulan ini berusaha untuk menyembuhkan dirinya dari segala gejala yang menyakiti dirinya. Kehilangan cinta nyatanya menghancurkan sebagian dari hidupnya.
Bangun tidur dengan nyeri di sekujur tubuh, ketakutan yang luar biasa hingga mati rasa di sebagian perasaan sudah Phuwin lalui dan itu masih terus hadir di setiap matanya terbuka di pagi hari.
Namun ini belum pagi, jam tangan yang tergeletak di atas nakas menunjukkan pukul dua dini hari dan masih di atas lautan lepas.
Keputusannya saat menapakkan kakinya ke lantai, memakai hoodie untuk menutupi baju tidurnya tipis, lalu mengikuti langkah kakinya yang entah kemana. Yang Phuwin rasakan hanya pergi, hingga hatinya tidak berat lagi.
Di pinggiran hull, di salah satu kursi akhirnya tubuhnya mendarat disana Phuwin melipat kakinya, menenggelamkan jarinya ke dalam hoodie, menghilangkan dinginnya angin malam sembari melamun ke arah yang tak jelas apa yang dilihatnya disana.
Segalanya hitam tidak ada arah, kosong lalu hampa. Mungkin itu hatinya.
“hi”
“hm?” Phuwin mendongakkan kepalanya, menemukan sosok tak asing yang membawa dua gelas susu panas, untuknya dan miliknya.
“lima belas lalu, gue liatin lo dari ruang kontrol, terus mutusin ambil susu kedelai, dan sharing sama lo disini”
Barulah tangan Phuwin meraih gelas susu yang panas, dan sosok itu duduk di sampingnya, posisinya miring ke arahnya dan mulai meniupi susu panas itu.
“lo pernah takut sama laut gak?”
“gak sih biasa aja”
“kalau pas semuanya keliatan indah banget, tapi kalau udah gelap gini kayanya gak perlu dilihat ya karena gak tau apa yang ada disana”
“almarhum bokap gue pernah bilang, laut itu tidak pernah jahat kalau manusia memperlakukannya dengan benar”
Susu panas itu mendadak dingin, pikiran Phuwin dilempar kembali ke beberapa tahun lalu. Mungkin ia tidak baik maka diperlakukan dengan buruk, Dewa bilang bahwa kepribadiannya tidak baik, tukang mengatur, egois dan posesif. Dan semua yang terjadi karena Phuwin yang angkuh memperlakukan semua orang, termasuk kepada mantan kekasihnya itu.
Entah mengapa ucapan Nara mengingatkannya pada hari-hari buruknya itu. Buruk hingga menitikkan air mata di atas susu yang di genggamnya dengan erat, buku-buku kukunya membiru karenanya.
“hi, phuwin you alright? sorry sorry omongan gue nyinggung lo lagi ya? phu” Nara meletakkan gelasnya di sampingnya, meraih bahu Phuwin untuk direngkuh dalam pelukannya.
Sudah lama sejak terakhir Phuwin tidak merasa ingin menangis sekencang malam ini. Malam ini tidak hanya air matanya yang tidak berhenti mengalir, erangannyapun mengeras segalanya terasa nyaman di dalam pelukan itu.
Nara mengusap-usap bahu Phuwin yang masih terus bergetar, dengan dorongan yang lancang sebuah kecupan beberapa kali mendarat di antara suarai harum itu.
Entah berapa lama yang jelas gelas susu tadi sudah mulai dingin, suara yang menjadi serak, dan lebam di mata Phuwin tercetak. Tetapi orang asing di hadapannya bersedia, menyeka air matanya, hingga kering, hingga senyumnya kembali lagi tanpa beban.
Dalam sekejap Nara terpesona setelahnya. Setelah Phuwin menegapkan duduknya, pelukan itu mengendur, senyum yang sejak tadi pertama bertemu tidak ada itu merekah sembari berbisik suara lembutnya melantun “makasih ya nara, you would be a great captain”
“lo bisa kapanpun cerita sama gue, gue ada buat lo. Lo punya gue, inget itu jangan ngelamun lagi”
“kalau lo gak dateng bawa susu ini tadi gue udah mau lompat aja ke laut, penasaran apa isinya di dasar. Apa masih sama kebohongan atau kebahagiaan”
Konyol, tapi tatapan pada mata sembab di hadapannya tidak membuatnya bosan bahkan enggan untuk mengedip sebab begitu indah nan terang.
Nara menyentuh pergelangan tangan Phuwin tanpa sadar, membalikkan posisi telapak tangan yang hangat itu menggariskan sesuatu dengan telunjuknya disana.
“bahagia itu disini” garis itu membentuk huruf N yang lalu di tuntun untuk di letakkan tepat pada detakan jantung Phuwin “Nara, remember that if you have hard time, you have me. Sorry ya gue gak tau temen lo yang arsitek itu orang yang sekarang bikin lo gak percaya bahagia itu apa, sorry karena sok asik tapi gue bisa jadi popeye meski gak suka bayem”
Sudut bibirnya kembali membentuk bulan sabit, terang nan indah. Bibirnya bergumam tanpa suara seraya menunduk, menyebut nama Nara dengan hati yang hangat.
Kehangatan yang menjadikan malam itu panjang dengan sebuah obrolan tebak-tebakan konyol tentang, kesukaan satu sama lain. Nara hanya ingin membawa obrolan itu menjadi ringan hingga ia merasa bahwa sebenarnya lebih ke enggan untuk berpisah dengan si bulan sabit di hadapannya.
Sampai Phuwin berpamitan untuk sejenak mengistirahatkan tubuhnya dan Nara harus kembali bertugas melajutkan kapal raksasa yang membawa bulan sabitnya.