
“Udahan dong dek nangisnya, teriak-teriak terus tenggorokannya sakit” ujar Rasya yang sudah mulai kewalahan dengan Kanaka yang masih betah merintih, menangis menuntut akan kehadiran sang papa.
Nakula baru dijadwalkan akan kembali ke rumah sekitar pukul enam sore, setelah menyelesaikan urusan seminarnya di kota yang terkenal akan bakpia. Rasya tadinya meminta suaminya itu untuk mengambil jadwal dengan kereta, pikirnya ‘bisa jadi alternatif untuk istirahat lebih lama dengan kereta exclusive, yang tak kalah mewah dari first class garuda. Hanya saja, panggilan terus berdatangan dari rumah — mengabarkan putranya mendadak demam — rindu rupanya.
Memang ini kali pertama untuk Nakula yang tidak langsung kembali ke rumah setelah jadwal keluar kota, biasanya semalam apapun ia akan mengusahakan pulang di hari yang sama. Ya. Meski berakhir harus buru-buru mengejar jadwal pesawat juga untuk saat ini, Nakula tetap menikmati sore terakhir di Jogja. Ia bahkan masih sempat mampir untuk membeli buah tangan, yang belakangan ramai ‘bakpia kukus — atau lebih mirip brownies buatan Rasya yang selalu mendapat dua jempol dari Kanaka.
Di rumah sejak pagi suara nyaring Kanaka mengisi setiap sudut ruangan, tangisannya seolah ia bayi paling menderita karena tidak bisa memeluk rasa rindunya. Rasya juga menawarkan untuk ke dokter, anak itu menolak. Rasya mencoba menyuapi putranya yang pasti energinya terkuras, tetap saja ditolak. Segala upaya sudah Rasya lakukan, usapan paling lembut dari tangannya terus mengelus rasa sakit yang sejatinya itu remeh — jauh dari rumah, seperti ia ketika muda. Namun Rasya tidak serta mengabaikan kesedihan putranya, ia mencoba mengerti rasa sedih yang mendalam itu dengan tidak lepas mendekap buah hatinya. Menimang, melupakan kebas lengannya.
“Eh adek lihat jam yuk, ini kan ada pendek dan panjang. Lihat dulu kesini” bujuknya sembari mendekatkan Kanaka ke arah jam kuno yang mengisi meja hias ruang tengah rumahnya.
“Ini nanti kalau angka empat ini ke angka enam, papa pulang. Artinya sebentar lagi sampe rumah, kan?”
“Ehum”
“Kita tunggu sebentar lagi ya, enaknya nunggu sambil ngapain? kalau nangis terus nanti malah ngantuk”
Kanaka menatap kosong ke arah jam yang ditunjuk telunjuk Rasya, ia meraihnya dan membawa ke dalam pelukannya. Lucunya, pipi dan hidungnya yang merah terlihat menggemaskan disertai nafas yang tersengal.
“Nen”
“Okay! Mbak Irma” pekik Rasya “Tolong susunya adek, pake botol yang besar ya. Mumpung mau”
“Iya Mas Sya” tidak hanya Rasya, pengasuh Kanaka ikut terbirit senang karena bos kecil yang mulai mereda tangisnya — mau juga mengisi energi meski dengan susu formula rasa madu kesukaanya.
“Apih~”
“Iya sayang”
“mana anta enamna”
“Yang ini, di tengah. Sebentar lagi, kan?” terangnya sekali lagi, sekaligus menjatuhkan dirinya di atas sofa merasakan tunggungnya melunak karena sedari tadi berdiri untuk menggendong putranya.
“Ini Mas, susunya adek”
“Makasih, sekalian Kool Fever Mbak”
Padahal jika dipikir lagi dua jam itu masih cukup lama untuk ditunggu, apalagi dibumbui rindu yang teramat dalam seperti yang dirasakan Kanaka. Tetapi itu satu-satunya cara, meski jam yang seharusnya duduk di atas meja sudah berpindah ke dalam pelukan kecil Kanaka.
Sepasang mata berair Kanaka yang terus memperhatikan jarum jam, disertai rasa kenyang dari susu yang baru dibuat untuknya, ditambah lagi dahinya yang terasa sejuk. Perlahan Kanaka dibawa ke dalam alam mimpi, meski sesekali membuka kelopak matanya — takut terlewatkan dengan pergerakan jarum jamnya itu.
Baru tiga tahun umur keluarganya, tanpa tuntunan dari siapapun yang mengajari mengurus anak. Semua modal berdasarkan pengetahuan dari media, konsultasi dokter dan saran-saran influencer yang sesekali Rasya jadikan konsumsi panduan mengurus anak. Kemajuan jaman yang memudahkan dirinya mengasuh Kanaka yang sedang banyak tingkahnya — in good way — anak yang tumbuh dengan baik, setiap kali imunisasi melewati medical check up tanpa ada rasa takut sebab Kanaka tidak pernah mendapat diagnosa buruk dari dokter. Sebuah kebanggaan tersendiri untuk Rasya dan Nakula.
Dengkuran Kanaka perlahan mengisi gendang telinga Rasya yang masih senantiasa menepuk-nepuk kaki kecil kesayangannya, ia sesekali memberi pijatan untuk putranya. Menyisir paras kecil nan gembil itu, mengusap jejak air mata, membersihkan hidung bangir putranya kemudian ia tersenyum dengan sendirinya.
“Sayang banget sama papah ya dek, sakit banget kayanya ga lihat papah sehari” bisiknya, berdialog dengan deru nafas Kanaka yang sesekali tersengal. Rasya turun melihat jam yang dipeluk Kanaka, ia menarik ponselnya untuk mengambil gambar yang rencananya akan ditunjukkan ke Nakula nanti. Jari-jari kecil yang erat memeluk benda itu sampai membuat buku jari Kanaka memutih — saking eratnya.
Dua jam tidak sampai, suara mesin mobil berhenti di dalam teras rumahnya. Rasya kenal betul jika kemudiam suara langkah kaki Nakula menggerus lantai dengan sepatu Yves saint laurent, yang dibelikan Rasya sebagai kado ulang tahun suaminya tahun lalu.
Selama itu juga Rasya masih duduk di ruang tengah rumahnya, tidak merubah posisi duduknya — takut membangunkan si kecil dalm gendongan. Ia menunggu suara langkah kaki itu mendekat, sama tak sabarnya. Sebab Rasya hanya ingin segera terbebas dari kesemutan sekarang ini.
“Hai” sapa Nakula lebih dulu, dengan cengiran di wajahnya yang tentu saja itu ledekan. Tau betul jika saat ini Rasya pasti sudah kebas karena posisi duduknya yang memangku Kanaka.
“Can you please hurry up, Nakula?” nadanya penuh permintaan sekaligus, penekanan yang diiakan oleh pemilik nama. Setelah mencuci tangannya, Nakula mengambil alih Kanaka dari gendongan Rasya.
Tubuhnya sedikit membungkuk, sejenak mengecup bibir Rasya sebelum berlalu bersama Kanaka dalam gendongannya. Bocah itu ikut menggeliat, ringikan mulai kembali terdengar.
“Ini papah dek” ujarnya.
Begitu suara yang familier itu terdengar Kanaka berusaha membuka matanya, ia menatap ragu karena pandangannya masih buram. Dari jarak dekat Nakula tersenyum “Papah”
“Iya dek, papah udah pulang. Maaf ya lama”
Di rasakannya tubuh kecil itu melunak. Seolah meleleh setelah lama berada dalam mesin pendingin yang panas. Kanaka mengalungkan tangannya di leher papanya, menyandaekan kepalanya di bahu kanan Nakula. Masih dibalut dengan kemeja yang belum di ganti, Nakula membiarkan putranya menikmati aroma rindu yang natural dari dalam dirinya.
“Nangis itu dari pagi, tidur meluk jam, persis barongsai tingkahnya seharian” oceh Rasya, protes karena badannya terasa remuk dibuat oleh bocah tiga tahun itu.
“Maaf papih, adek kangen sama papah” kata Nakula menirukan suara Kanaka yang masih diam saja dipelukan hangat itu. Sembari Nakula meyandarkan bahunya di sofa, perlahan Kanaka terisak.
Kali ini terdengar halus sedikit kesakitan, yang sangat dimengerti kedua orang tuanya.
“Iya ya, ga barongsai. Maaf ya dek, udah deh berduaan sama papah. Aku mandi dulu ya pah”
Ada waktu yang menurut Rasya harus diberikan untuk Kanaka. Waktu dimana rindunya itu masih sulit dipahami oleh seusianya. Rasya menghilang dari pandangan Nakula, meninggalkan ayah dan anak itu yang masih saling memeluk.
“Kepalanya masih sakit adek?”
“Nda~”
“Udah ga panas ini, anget badannya. Kenapa adek harus sedih, kan papah kerja”
“Adek mimpi buluk, papah dimam halimau” terang Kanaka seadanya, suaranya ikut bergetar dengan lengkungan bibir yang semakin layu.
“Papah pernah ketemu harimau, harimau ga makan papah”
“Temu dimana”
“Ada, namanya di Namibia. Waktu itu papah pergi sama papih, tapi adek belum ada. Papah lihat harimau banyak sekali, terus papah bilang sama papih ‘nanti naka pasti jagoan kaya mereka ya pih’ terus ada adek deh, di perut papih”
“Adek maw iyat halimau”
“Sembuh dulu kalau gitu, mamnya yang banyak, harus jadi anak pinter baru deh nanti lihat harimau”
“Euhmm, nti adek maw bicala sama halimau ‘nda boye mam papah adek, nti adek bilangin kakek’ gitu”
“Lah kenapa kakek?”
“Uwang kakek tan banyak, halimaunya nti dibeli”
Awal mula ini berasal dari papa mertua Nakula itu yang selalu membelikan banyak mainan untuk Kanaka, bahkan pernah sendiri Kanaka melihat puluhan kartu milik Pak Rudy itu berjajar untuk membayar tagihan. Kanaka yang mudah tanggap, beranggapan semua itu uang yang bisa membeli apapun — memang — tapi bukan begitu seharusnya Kanaka menafsirkan hal-hal orang dewasa.
Gelak tawa Nakula mengudara, tawanya renyah diikuti senyum Kanaka yang perlahan kembali.
“Persis banget sama papih kamu dek”
Nakula baru selesai melilit handuknya dipinggangnya, keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Menguar aroma floral yang Rasya suka, berjalan dengan kaki basah untuk menarik satu kaos yang tertinggal di luar kamar mandi. Rasya menyaksikan itu, berdecak kesal tentunya.
“Chill, lupa” timpalnya sebelum Rasya menghujani protes untuk Nakula yang tak lama menghilang lagi.
Rasya tengah duduk di lantai kamarnya, memunggungi sofa yang menjadi tempat Kanaka menghabiskan susu dengan tangannya yang menyentuh helaian rambut Rasya — kebiasaan Kanaka yang sulit dihilangkan. Menyentuh sesuatu sembari menghabiskan susunya.
“Dek ganti ajalah, moana terus sehari empat kali masa”
“Tu selu asya”
“Pah adek asya asya lagi ni”
“Apih! telupaan”
Suhu panasnya sudah mereda sejak setalah tidur dalam gendongan sore tadi, ocehannya sudah mulai jelas tidak lagi rengekan atau tangisan seperti tadi. Dan disini mereka bertiga, menonton serial kartun yang sedang disukai Kanaka.
“Ayo tidur, dek”
“Sama papah”
Nakula merentangkan tangannya, tanpa sepatah kata menarik Kanaka berlari kecil ke arahnya. Meninggalkan botol susunya beserta Rasya yang menyaksikan, langkah kaki Kanaka yang takut tidak segera meraih garis finish yangmana ada pria dewasa yang dirindukannya.
Dalam sekejap, lariannya ditangkap oleh Nakula. Tubuh kecil itu beberapa kali dilayangkan ke udara lalu ditangkap kembali, sebelum ceruk aroma khas bayi diusal Nakula. Sama rindunya. Sama ingin segera saling memeluk erat. Rasya menyaksikan itu tenang sekali hatinya, ia menatap tanpa melepaskan perhatian ke arah sana.
Lagi-lagi Rasya tidak ingin menganggu — tidak pernah menganggu, tetapi ia membiarkan ruangan yang tadinya menyiksa putranya disembuhkan dulu oleh sang pala. Ia berdiam diri di sudut kosong kamarnya, memangku laptop yang seharian tidak tersentuh. mengulir email masuk yang menumpuk, membalas pesan dengan dokter anaknya. Rasya juga sedang kembali mengisi daya di sunyinya malam dengan rintikan hujan.
Lebih mirip gerimis, yang meneduhkan. Jatuh di atas atap rumah, memberi sedikit embun yang menempel di jendela rumah. Rasya tenggelam dalam suara merdu itu, mengigiti kuku ibu jarinya — saking tak terganggunya.
“Kebiasaan” usik Nakula. Pria itu berdiri di samping Rasya, menarik tangan itu sebelum menjatuhkan diri di samping suami kecilnya. Kembali menyalakan televisi yang mati tadi, mencari tayangan menarik sebelum tidur.
“The Nun bagus kayanya”
“Horor?”
“Iya, tapi bukan hantu sih”
Tombol mulai ditekan tanpa intrupsi lagi, Rasya turut menutup kesibukannya — memilih membaringkan tubuhnya di atas pangkuan Nakula, memeluk bantalnya dengan tenang.
Volume suara, ditekan rendah tetapi masih terdengar suaranya untuk mengantisipasi suara yang mungkin bisa menganggu Kanaka.
Sesaat setelahnya, Nakula menahan tawanya sebab Rasya sesekali melonjak di adegan-adegan iblis yang muncul, merasuki para actor yang sedang berlaga. Meski pria itu mencoba tenang, Nakula bisa merasakan kaget yang menguasai Rasya.
“Sya”
“Hmm?”
Nakula sudah merendahkan punggungnya, bibirnya mengecup beberapa kali miliknya.
“Takut?”
“Kaget”
Senyum Nakula merekah, besar sekali. Terasa hangat dan menenangkan.
“I miss you” bisik Nakula tepat di depan bibir Rasya. Ia mengulangnya beberapa kali, barulah Rasya menangkup pipi suaminya. Merasakan hangat pipi itu, mengusapnya perlahan. Memberi kecupan dalam mengobati rindu itu.
Rasya mendadak menggebu, dasar hatinya yang tadi hanya aliran kecil mendadak menjadi desiran deras hingga ke hulu tubuhnya. Entah, kenapa bibir Nakula terasa candu baginya saat ini. Ia perlahan memejamkan matanya, membiarkan dirinya dikuasi oleh si sayang. Sejenak. Hingga nafasnya meronta butuh pasokan.
“Lain kali aku ikut kalau ke luar kota lagi”
“Ga harus ya tapi, aku ga mau ganggu juga jadwal-jadwal treatment kamu atau lainnya” Nakula kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa.
“Anak kamu sih lebih tepatnya, beneran kaya barongsai. Udah ketemu kamu turun tuh demamnya”
“Baguslah, biar ga ngebucin papihnya aja. Sainganku kalau gini kan berkurang”
Adu mesra di akhir hari ini, mengobati Rasya dari rasanya lelah. Baik fisiknya juga hatinya. Begitu Nakula tidak mengurangi perhatiannya untuknya — sudah dijamin jika pria itu juga pasti lelah — membuat hati Rasya penuh, begitu juga Nakula. Menatap satu sama lain, mengabsen setiap rindu yang menyiksa beruntungnya tidak ada yang kurang darisana. Rasanya masih sama, sama cintanya.