Ay
4 min readApr 2, 2024
Last puzzle

Waktu tidak pernah sudi menunggu karena sejatinya waktu ada untuk dikejar. Seolah diburu-buru oleh keadaan dengan perasaan campur aduk Phuwin mencoba mensiasati segala cara untuk terlihat tenang menamani Nara yang terus berceloteh tentang bagaimana pesawat itu terbang, doraemon dan rasa dorayaki yang enak di Hokaido hingga ketenangan hatinya jika berada di samping Phuwin.

Si nakal yang mungkin tidak akan lagi ia dapati ketika nanti sudah sembuh membuat hatinya sedikit mencelos pilu. Sebab di dalam benaknya bisa saja Nara akan mengusirnya nanti dan tidak lagi mendapat bayi besar kesayangannya yang tenagh menyusun puzzle seraya mendapat suapan makan siang dari tangan Phuwin.

Wangi buah-buahan dari Nara yang segar itu akan segera pudar jelmaan pria tangguh akan segera menggantikan bayinya itu.

Sesekali Phuwin terlalu menyatu dengan isi pikirannya yang belum tentu terjadi hingga harus beberapa kali Nara menepuk kesadarannya agar tidak melamun.

“kakak dengern nara gak?”

“denger nar”

“kak phuwin sedih terus, nara nakal ya kak?”

“gak nar, udah ini makan nasi terakhir habis itu sudah” Ia menyuapkan sendok berisi nasi dan sepotong telur goreng terakhir kesukaan Nara yang audah menghabiskan tiga butir telur untuk siang ini.

Isi rumah yang dihuninya enam bulan ini perlahan mulai kosong, bahkan ruang bermain Nara yang selalu menjadi sumber amarahnya karena selalu berantakan terlihat tidak lagi memiliki rak penyimpan mainan yang tersisa hanya meja kecil yang menyimpan puzzle spider-man Nara.

Atas permintaan si bayi yang memohon agar puzzlenya dibiarkan begitu saja karena belum selesai lalu mendapat persetujuan darinya yang kini sedang keduanya coba selesaikan meski mustahil menyelesaikan seribu potong kertas dalam setengah hari.

Suasana hati Nara berbanding terbalik dengan Phuwin karena sedari tadi, Nara memasang setiap puzzle itu dengan gumaman khas anak-anak yang sedang berintetaksi dengan dunianya sendiri. Nara meyenandungkan lagu yang diciptakan sendiri untuk mengingat setiap tanggal di potongan puzzle yang ia pasang.

“Satu sampai empat belas, tanggal dua sampai dua puluh, empat belas sampai banyak, hari ini bersama kak Phuwin”

Sebait yang bisa Phuwin tangkap oleh pendengarannya bebetapa kali bahkan namanya disebutkan oleh Nara dengan nada riang seraya memiring kan kepalanya kesana kemari di hadapan Phuwin.

“apa sih nar, bayi”

“apa kak?” Nara membeo menatap polos Phuwin yang terlihat begitu silau, senyum indah menyejukan matanya, sepasang kornea cokelat yang terlihat manis serta kelopak mata yang memukai kala mengedip menciptakan semburat merah di pipi Nara. Degup jantungnya detak kacau saat ini, salah tingkah hanya karena senyuman Phuwin yang tak sengaja ia lihat dalam sepersekian detik.

“kakak nara suka sama kakak” ucapnya cepat dalam satu kali tarikan nafas, bahkan Phuwin harus mengeryit untuk memahami ucapan pria di hadapannya yang tengah tertunduk malu.

“hah? suka apa?”

“suka kakak, nara suka sama kakak” ucapnya membeo dengan segala cara yang payah Nara menahan dirinya untuk tidak gelagapan di hadapan pria kecilnya membuatnya mendadak menindih Phuwin hingga terjatuh kebelakang. Keduanya mengaduh apalagi Phuwin yang harus menahan tubuh Nara di atasnya saat ini.

Dan bagai ditiupkan serbuk peri Nara terkesima dalam jarak sedekat ini irisnya menelisik paras Phuwin dengan ritme jantungnya yang berantakan. Perlahan ia mencoba tenang sebah Phuwin dengan sadar mengusap tengkuk bayi besarnya hingga terpejam dan mulai memanggutnya.

Phuwin egois. Serakah. Tidak lagi bisa menahan. Dia pria dewasa yang hampir setiap hari nalurinya ingin mendapatkan balasan berupa sentuhan sebagaimana biologisnya meminta.

Ketika suasana di dalam ruangan sepetak beralaskan karpet bulu yang tidak begitu empuk menahan punggungnya yang perlahan mulai mengilu Phuwin terima asal itu adalah Nara.

Lalu siapa sangka siang ini Nara mengungkapkan isi hatinya lalu berbisik kata cinta yang entah darimana bayinya memahami itu sebagai ungkapan yang mampu membuatnya melayang layang di atas lapisan tujuh langit yang berbeda.

Nara yang begitu menyadari atas apa yang telah terjadi itu berkata pada Phuwin “kakak jangan pergi” ketika keduanya tengah mencapai hembusan angin dari pegunungan himalaya yang begitu sejuk menyapa, menerbangkan kesadaran keduanya seolah tengah melayang-layang diudara.

Phuwin mengangguk dengan antusias, siang ini ia sudah menjadi milik suaminya. Dan Nara telah menunjukkan kepemilikannya.

Tidak terlalu jelas untuk siapapun yang mungkin belum menyadari jika kedunya sudah jatuh cinta, dan siang ini yang terik bersama penerangan yang menjadi saksi keduanya tengah menyatu tanpa sehelai benangpun menikatmati keintiman hingga kepuasan yang sudah lama ingin disambut.

Berharap ada akhir bahagia Phuwin melebarkan senyumannya ketika Naranya sedang menghabiskan energi untuk menciumi parasnya.

Ah, hatinya hangat sekali. Keduanya, siang ini ruang bermain yang menjadi saksi bisu keduanya.

Primanda, satu-satunya teman dekat Phuwin duduk bersebelahan dengannya yang sedang menautkan jarinya yang dingin.

Satu minggu berlalu pasca hari itu, satu minggu sudah Nara berada dalam pengawasan rumah sakit dan saat ini sedang berjuang di atas meja operasi untuk kesehatannya.

Dalam satu minggu juga selama di rumah sakit, kesehatan Nara terus membaik. Ingatannya belum dikatakan pulih utuh namun perlahan sikapnya meningkat.

Satu jam sebelum masuk ke ruangan yang saat itu dengan perubahan sikapnya Nara menyampaikan pesan singkat “disini terus sama nara ya”

Kalimat yang sangat amat menbuatnya begitu berarti, bersabar menunggu bahkan kala di tempat ini tidak hanya ada ia, Primanda, orang tua Nara, staff di rumah. Phuwin masih begitu percaya diri bahkan ketika mantan kekasih suaminya datang dengan kacamata hitam terlihat anggun ia masih percaya bahwa proses sembuhnya Nara akan membuahkan hasil juga untuk hubungan mereka.

“udah tenang aja anjir, lo tuh pasangan sah nya Nara”

“gak gitu, ini kalau habis operasi masih kaya bocah gue yang mumet tai”

Primanda tersenyum canggung. Nyatanya Phuwin memang Phuwin. Hatinya gundah namun masih mencoba tetap jenaka. Sahabatnya sangat tau jika sekarang bukan soal itu yang dikhawatirkan Phuwin.

Tetapi hubungannya yang bisa saja membuatnya tersingkir, melihat dengan tidak sopannya Karina disana tengah duduk sama menanti keadaan Nara.

Jika Primanda itu Phuwin wanita itu jelas akan ia jambak dan diseret keluar rumah sakit. Sebab caranya menunjukkan bahwa ia juga sama berhaknya menemani Nara itu jelas ketara mengusik atmosfer yang sedang penuh kebimbangan itu.

Ketika empat jam sudah berlalu, lampu kamar operasi sudah mati, dokter Jimmy keluar dari sana wanita itu yang paling sibuk berusaha menyingkirkan Phuwim dari pandangan. Ya, meski Jimmy tetap memilih berbicara dengan Phuwin tentang Nara.

Setidaknya di tengah ketegangan ini, Phuwin masih memimpin dengan melempari Karina tatapan mencemooh.

No responses yet