Cuaca sedang tidak menentu terkadang hujan lalu turun salju. Seperti malam ini yang mendadak turun salju di jam dua malam yang sepi tidak ada lagi aktivitas yang ramai di jalanan.
Nara membelah jalanan kota yang gelap mencapai flat tempat tinggal lama Phuwin dengan kecepatan penuh. Hatinya kali ini tidak lagi sama, tidak ada rasa khawatir yang tertinggal hanya sebuah dorongan untuk meminta maaf atas perbuatannya. Terlalu banyak yang sulit Nara katakan, ia merasa telah berjuang disetiap hal untuk menekan segala kelelahan untuk Phuwin. Malam ini diulang kembalu rasanya ia seperti hanya memutar-putar jam pasir yang akan habis di tempat yang sama perlahan lalu memudar.
Dari bawah setelah memarkirkan mobilnya, ia melihat jendela kamar Phuwin terbuka tirainya sedikit keluar karena tiupan angin malam.
Jemarinya menekan code pintu ruangan milik Phuwin yang gelap, penghuninya sedang memeluk meringkuh diatas tempat tidur tanpa selimut hanya ditutupi sebagian dengan mantel abu-abu milik Phuwin. Dari pintu masuk Nara melihat bayangan tubuh itu dengan cahaya natural dari luar.
Punggung Phuwin sempit memeluk si kecil yang ada dalam kukungan, hatinya berkecambuk. Tadi saat melukai Phuwin yang ia pikirkan hanya rasa kesal melihat suaminya bersikap tidak baik. Langkahnya mendekat ia melihat samar garis merah di pipi Phuwin masih ketara bahkan jejak air mata kedua pria yang sedang memeluk itu terlihat.
Nara yakin Phuwin yang kecewa dengan sekuat tenaganya menghibur Jesper, ia berjalan mengendap untuk menutup tirai yang ternyata membangunkan seseorang. Jesper mengerjap menatap Nara dalam diamnya, matanya indah dan berkaca.
Tangannya memberi sinyal memanggil Jesper setelah menutup jendela membawa Jesper kedalam dekapannya, memangku diatas sofa dan berbicara berbisik-bisik “cold?”
“no, always warm as long jesper has piuw” Jesper bersandar dengan lemas di dada Nara.
“how much love you have for piuw?”
“i can’t count nara, i love piuw so much”
“what about me?”
“i can’t choose between you and piuw, i love you both so much”
Dari sudut matanya satu tetes mengalir air mata yang tidak ia rasakan keluar dengan sendiri dengan rasa sakit yang amat dalam. Nara menyesali perbuatannya, ia sedang kalah dengan dirinya sendiri melampiaskan itu pada Phuwin yang tidak bersalah. Segala tuntutan Phuwin itu benar.
Namun dalam sunyi yang menyelimutinya ada beberapa pertanyaan yang selintas singgah, tentang siapakah yang sudah berjuang mempertahankan segalanya? Phuwin atau dirinya sendiri.
Pria dewasa yang tengah memangku si kecil itu lupa bahwa pertanyaan itu bisa menggerogoti apa yang sudah diciptakan keduanya selama ini. Tentang keinginan balasan yang setimpal, Nara menuntut Phuwin untuk bertahan meski justru malam ini lagi-lagi ia pergi membuatnya lelah mencarinya jika bukan karena Jesper.
Semalaman Phuwin terjaga ia tidak tidur sehingga apa yang sedang mengobrol terdengar olehnya sayup-sayup. Sepanjang malam ia melamun tanpa membalikkan tubuhnya, sengaja jendelanya dibuka agar pipinya panas tidak membuat seluruh hatinya ikut panas.
Namun tak disangka pelakunya menutup jendela itu menghalangi angin segar menyembuhkan panasnya pipinya. Kini punggungnya terasa sakit bukan karena tidak bergerak.
Dokter bilang jika ada tumor sedang tumbuh disana bersarang sebesar biji kacang dan harus segera diangkat, maka saat ia tau harus berpisah dengan seseorang yang memberi dukungan untuk hidupnya rasanya begitu menyebalkan.
Nyeri menjalar pagi ini membuatnya tidak bisa bergerak, bibir ia gigit menahan rasa sakit itu. Phuwin tidak pernah menyangka hanya karena patah tulangnya tidak dirawat itu menimbulkan sakit yang lainnya.
Jadi keputusannya meminta cerai mungkin terdengar klasik namun pertimbangan ini telah dipikirkannya diam-diam.
Phuwin tidak ingin menghambat Nara dan ia ingin menyembuhkan dirinya tanpa membebani siapapun.
“piuw sudah bangun? ada nara”
Jesper bersandar pada pinggir tempat tidur di depan Phuwin memghalangi pandangannya yang sedari tadi hanya menatap kosong ke arah jendela digantikan dengan pipi gembul milik Jesper.
“udah bangun? babe aku minta maaf”
Nara mensejajarkan tingginya dengan Jesper berdiri di depan Phuwin yang malah memejamkan matanya mengernyit menahan nyeri
jangan sekarang — batinnya.
Ia akan sangat benci terlihat menyedihkan di depan Nara dengan tenanganya Phuwin berucap “jes, nar i think i choose to leave our family, let’s divorce i beg nara. i know that you now no longer love me. jes sorry, maafin phuwin”
Mereka berhadapan sangat dekat Phuwin tidak bergerak dari posisinya sekalipun saat Jesper menangis mencoba memeluknya. Nyeri itu membuat punggungnya terasa panas dan tidak bisa banyak bergerak.
Jengah merasa Phuwin terlalu kekanakan Nara membawa Jesper untuk pergi dengan paksa, meninggalkan Phuwin yang tak lama menjerit kesakitan di atas tempat tidurnya.
Ruangan persegi yang tidak besar itu Phuwin sendirian memeluk dirinya merasakan sakitnya menusuk dua kali dari arah berlawanan.
Bab terakhir dalam bukunya mungkin sebuah kematian atau justru hidup abadi di tempat lain, ia mencoba hanya memikirkan hal-hal yang indah berusaha mengurangi rasa sakitnya yang luar biasa hebatnya.
Suhu tubuhnya naik, mual menyerang, punggungnya panas sekali ia tidak tahan untuk hanya tetap diam hingga ia terkulai tak berdaya tanpa siapapun tau tentang apa yang sedang ia rasakan.
Perlahan semuanya gelap, bibirnya memanggil nama ibunya, ia mulai berhalusinasi hingga semuanya tidak terlihat lagi.