Ay
6 min readJun 25, 2024
Bulan sabit

Puluhan telfon masuk dari Ghea menghiasi layar smart phone Nara yang tersimpan di saku, telinganya tidak mendengar sebab masih tersita waktunya untuk memperhatikan mesin-mesin kapal yang sedang dalam perawatan.

Keluarga Nara maupun Phuwin sedang berkumpul di Singapore. Semacam agenda pertemuan keluarga setiap tahun, melepas rindu.

Nara yang menyerahkan kepercayaan kepada suaminya memilih sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai hirau dengan panggilan telfon yang menumpuk.

Kala topi bertugasnya dilepaskan untuk sejenak menghela nafas istirahat setelah berjibaku dengan pekerjaan, salah satu crew kapal menyampaikan berita yang tak terduga.

Suaminya terserat ombak saat melakukan penyelaman, tubuhnya terhantam karang cukup dalam.

Sudah lebih dari dua jam yang lalu kejadian itu, namun Nara yang sibuk baru mendapat informasi ketika suaminya dan semua orang sudah kembali dari rumah sakit.

Phuwin dalam kondisi yang baik, tidak ada luka serius yang mengharuskan untuk menginap di rumah sakit. Hanya luka-luka goresan dan lebam yang sedikit ngilu pada tulang panggulnya.

“bulan sabit”

“kemana aja? aku takut”

“maaf ya, aku gak denger ada telfon tadi. Kenapa gak mau bed rest di rumah sakit?”

Phuwin menggeleng lesu. Jawabannya ada pada ramainya isi apartmen mereka. Sedang ada acara bersama keluarga, tidak mungkin menurut Phuwin untuk merepotkan jika harus menginap di rumah sakit.

Dan berakhir memilih di rumah, dengan lesu sedikit rasa sakit pasca terseret oleh ombak.

“ya sudah istirahat ya, aku keluar dulu”

Nara memberi waktu untuk suaminya beristirahat, setelah menarik selimut untuk menutupi tubuh ringkih itu.

Di luar Ghea yang menjadi saksi jelas akan dicecar pertanggung jawaban oleh Nara yang sudah menatap adiknya, di depan banyak anggota keluarganya.

Tidak menggunakan basa basi lagi “kenapa bisa sih ghe?”

“maaf ya kak, tapi sumpah tadi awalnya baik-baik aja terus ada ombak gitu dan cepet aja kejadiannya aku juga gak sadar kalau kak phuwin ke seret”

Dengan tensinya yang tidak stabil Nara berdecak kesak “udah gakpapa ra, yang penting phuwin udah gakpapa” lanjut ibu mertuanya yang juga khawatir atas putranya.

“gak gitu mi, masalahnya kalau udah dikasih kepercayaan harusnya saling jagain. Kalau phuwin kenapa-napa gimana, ghea kan lebih jago nyelamnya dek”

“iya maaf kak”

Bukan tanpa alasan jika Nara begitu kesal, seban belakangan permasalahan keluarga secara tersirat sedang menyelimuti keluarga kecilnya.

Salah paham antara ibunya dan Phuwin, kerap terjadi. Nara yang tau bagaimana Phuwin setiap kali dihujani keposesifan ibunya membuat Nara begitu kecewa.

Seharuanya Ghea dan sang ibu menjadi perekat untuk keharmonisan rumah tangganya, Nara paham betul bagaimana mungkin ibu dan Ghea takut kehilangan sosoknya, namun sangat tidak dibenarkan bagi Nara jika lalu keduanya sesekali ikut campur dalam aturan rumahnya.

Belum lagi ketika keluarga Phuwin juga tak jarang menanyakan, rencana-rencama rumah tangganya. Seolah tak percaya dengannya jika hanya mengandalkan karir sebagai seorang nahkoda.

Hal-hal yang lumrah, yang sedang Phuwin dan Nara coba pahami. Maka ketika rasanya satu-satunya pelabuhannya tidak dijaga, jangkarnya seolah dipaksa untuk menuruni lautan.

Berlalu dengan cepat tensi siang tadi, menjadi kembali hangat. Keputusan makan bersama berakhir dengan musyawarah, dihabiskan di dalam apartmen sederhana pemberian dari perusahaan Nara.

Phuwin dengan masih belum cukup kuat memaksa untuk bergabung, di pantrynya bersama dengan yang lain menyiapkan makan malam.

Sesekali lalu terdengar suara sang ibu mengintrupsi Phuwin “nara gak suka bayem, jangan ya mas” atau “jangan pedes-pedes nanti nara sakit perut waktu kerja, kamu harus lebih perhatian sama nara” dan semua kalimat-kalimat itu juga pasti di dengar oleh keluarga Phuwin, yang mana mami dan papi juga Gemini hanya memasang tawa seadanya.

Tidak ada yang kemudian bisa mengalahkan posisi ibu dalam segala hal, namun Nara sudah memutuskan menikah yang dimana tanggung jawab itu jelas harus dibagi antara ibu dan pasangannya.

Phuwin yang sudah biasa, selalu menelan mentah-mentah sama juga dengan Nara.

Makan malam bersama, dicoba Nara untuk tidak terlalu memikirkan hal ini yang terus menganggunya.

Sejenak tadi juga sudah banyak mengobrol dengan keluarga Phuwin. Untuk menyampaikan rasa bersalah karena tidak siaga saat Phuwin terseret ombak.

Seretan yang Nara dalami ini sebagai bentuk teguran untuknya.

Selesainya acara berkumpul malam ini, selepas yang lainnya kembali ke hotel masing-masing. Nara melamun di depan sink mencuci piring, bergelut dengan pikirannya sendiri.

Mungkin jika tidak punya cukup sabar, rumah kecil yang dibangunnya juga akan terseret ombak. Sebab mempertahankan pelabuhannya tetepa utuh ketika terua dihantam ombak juga tidak selalu mudah.

“kenapa lama?”

“sekalian beres-beres biar kamu besok bisa istirahat, sini aku oles salep”

“ra, maaf ya aku ceroboh. Jadi aku ganggu kamu kerja” cicit Phuwin penuh rasa bersalah.

“gak perlu minta maaf, alam itu tidak bisa ditebak bagaimana bekerjanya. Kamu selamat aku sudah seneng bulan sabit”

“maafin papi ya ra kadang suka gak jelas nuntut ini dan itu, padahal mereka gak tau aja. Kalau utang-utangku di bank, kalau aku gak nutup omset yang bantu selalu kamu. Brand aku semakin besar juga karena kamu”

“gak nyaman ya bulan sabit, kalau yang sudah kita perbuat gak dilihat. Gak cuma aku, tapi kamu pasti juga ke mama tadi”

Seperti memang sudah begitu menganggu, baik Phuwin dan Nara lalu membagi tatapan untuk saling memandang satu sama lain.

“aku sedih, tapi aku ngerti. Mama kamu begini karena kamu satu-satunya anak yang diandalkan, kamu masih bantu mama, ghea, bantuin aku, nabung untuk kita. Sampai kamu kadang lupa buat nyenengin diri sendiri, harusnya aku yang minta maaf atas tuntutan papi ke kamu. Keluarga aku gak boleh kaya gitu ke kamu, selama ini kita gak pernah kurang, seharusnya papi yang belajar kalau aku, anaknya ini sedang belajar untuk berusaha mengenal hidup sama captain yang sudah aku pilih” terangnya, begitu menenangkan malam yang ditemani bulan sabit di atas sana.

Nara menarik dua sudut bibirnya, untuk membalas semangat suaminya dengan senyum penuh kagum pada si sayang.

“jangan sedih ya ra, di mata aku. Kamu itu segalanya, segala yang ada sama kamu aku suka. Janji kita waktu menikah dulu, untuk suka dengan apapun pada pasangan kita. Selama kamu selalu pulang, aku pasti bisa kok karena aku gak mau belajar caranya ikhlas. Gak mau karena aku maunya kamu pulang, ketemu aku terus kita ngobrol kaya gini”

“pasti aku pasti pulang”

Jawaban untuk pertanyaan bagaimana Nara bisa semudah itu meninggalkan kisah kelam romansanya, hanya dalam satu minggu bertemu dengan Phuwin.

Bulan sabitnya selalu lebih terang dari bintang-bintang meski sinarnya hanya muncul saat malam tiba. Tanda jika gelapnya dasar laut akan kembali bercahaya dengan tuntunan, sinar rembulan itu.

Nara mengusap lebam pada suaminya perlahan, sesekali ikut meringis karena desis ngilu Phuwin terdengar.

“kamu tau gak? waktu aku keseret itu setelah panik aku jadi tenang karena ingat ucapan kamu. Kalau jangan melawan hukum alam apalagi lautan, jadi waktu itu aku cuma ikutin arus dan gak lama aku bisa kendaliin diri aku”

“terus?”

“terus waktu aku sadar, aku bangga sama diri aku sendiri. Kaya wah aku udah layak jadi pendamping terbaik kamu soalnya udah gak malu-maluin captain nara kalau soal berenang”

Nara tertawa ringan mendengar jawaban itu “aku bangga sama kamu, karena kamu tau seleraku tanpa diminta setiap aku pulang dari berlayar”

“masa?”

“iya”

“jadi aku gak perlu dengerin mama?”

“gak perlu, cukup kamu dengerin kata hati kamu. Karena kata hatiku selaras sama kamu”

“gombal deh! akan aku lakuin aku patuh sama captain rumah kita” Phuwin terlihat kembali sumringah, berkilau di hadapan Nara yang mendaratkan beberapan kecupan sayang yang sengaja menimbulkan suara.

Hanya Nara yang bisa melihat betapa kekanakannya Phuwin setiap malam.

Hampir setiap malam atau bahkan setelah waktu bersama yang dihabiskan, keduanya jarang terlibat pertikaian berat. Perdebatan juga tak berlangsung lama, sering menunjukkan satu sama lain yang bergantung setiap harinya.

Nara yang begitu percaya dengan Phuwin, dan ketika Phuwin yang selalu membutuhkan Nara.

Rasanya pasir putih pantai yang menyimpan pecahan cangkang kerang tak mempan untuk melukai bahtera rumah tangga mereka. Keduanya masih selalu kokoh melalui setiap jalan yang tidak selalu mulus.

Phuwin kemudian mengalungkan tangannya di leher Nara, keduanya menatap dalam jarak dekat di waktu yang cukup panjang. Hanya mengagumi tanpa bercelah, sesekali Nara menyisir rambut suaminya, tersenyum penuh cinta, menguasai hatinya yang sempat kesal menjadi penuh oleh elok romansanya.

“aku jatuh cinta terus sama kamu kayanya”

“tita rugi sih nolak kamu ya ra”

“aduh bulan sabit, move on ayo. Hidup kita sudah maju lebih dari cuma tita dan dewa”

“maksudnya tuh aku muji kamu loh nara”

“heran gak move on banget”

“tsk! Aku cuma gak nyangka bisa dicintai sama kamu segininya loh, kamu nih jangan bikin malu paus ya, paus itu cerdas dan peka”

Nara kembali tergelak ringan “iya sayang”

Akan disusuri lagi sepanjang pasir pantai yang menyimpan banyak krikil tajam, Nara hanya akan jatuh cinta pada bulan sabitnya.

Yang sudah berhasil ia rengkuh dalam pelukan yang dalam, yang sudah ia kecup penuh syukur, yang ia miliki dengan hati yang sudah utuh.

Bulan sabit untuk paus besar itu.