Ay
5 min readJun 27, 2024
Bri's day

Bukan soal kehadiran yang tidak jelas kapan datang membawa yang diharapkan. Melainkan harapan karena sebuah janji sudah dikatakan. Bahkan kelingking sudah terikat beberapa bulan lalu.

Tidak hanya sebagai orang tua namun juga orang yang ditunggu banyak orang sebagai perwakilan orang tua di sekolah.

Brielle duduk meremas gaunnya sembari sesekali menatap ke arah Phuwin dan adiknya yang mengunyah snack dari Hongkong. Bibirnya yang merah muda terlihat pucat pasi, tersisa tiga urutan lagi namanya akan di sebut untuk menerima ijazah kelulusannya.

Anak remaja yang tumbuh dewasa itu sudah biasa dengan hal semacam ini, ketika papanya terlambat atau bahkan lupa akan sebuah janji. Namun kali ini rasanya seperti dipermalukan, sebab ada banyak pasang mata yang menatapnya sebagai putri seorang Naravit.

Dan pria dewasa itu tidak bisa ia harapkan, berujung Phuwin yang memberi sambutan, ucapan syukur dan rasa terima kasih atas prestasi-pertasi putrinya. Yang menyandang gelar salah satu lulusan terbaik, banyak menyumbang piagam.

Lalu ketika turun dari podium, irisnya menatap Phuwin sendu. Tak ingin terlihat sedih karena bulu matanya cukup mahal untuk harus luntur karena air mata.

Namun sayangnya, renyangan pria yang sama ia cintai. Paphu kesayangannya melebar untuk memeluknya “maafin papa, okay? ada paphu, adek, paman-pamannya bri, oma opa di rumah nungguin bri”

“bri benci sama papa”

“iya paphu tau, gakpapa marah, wajar bri kecewa ya nak. Tapi belajar memaafkan jauh lebih baik, supaya langkah kakak gak berat di masa depan. Semua untuk bri sendiri”

“iya paphu”

Phuwin mengusap punggung putrinya perlahan dengan tenang, dan membalas senyum seadanya untuk orang-orang yang berlalu lalang memberi selamat atas Brielle.

“kakak, itu papa. Adek marahin papa ya, jangan nangis lagi” kata si bungsu yang menggebu, berlari menghampiri Nara yang tergopoh membawa seikat bungat untuk putrinya.

“papa kemana sih kakak sedih! sini bunganya adek aja yang kasih” culas rupa si kecil yang merebut bunta itu, kesal juga melihat antara Kakak dan Papa nya yang kerap berselisih paham.

“ini dari papa, kak. Busuk bunganya pasti belinya di moroko deh makanya lama” celotehan Abelle yang kerap tidak memahami situasi mengundang gemas Phuwin untuk membekap bibir si bungsu, bercanda “ceriwis aja”

“selamat ya kak, maaf papa telat”

“hm” jawab Brielle singkat penuh kecewa.

Disambut Phuwin dengan tatapan tak suka jelas membuat Nara hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Kemudian agenda itu diikuti foto bersama, hingga rangkaian anak murid yang lulus. Sejam berlalu, hingga dua jam menunggu akhirnya Brielle selesai dengan urusannya.

Ia keluar daei lorong plaza sekolah mendapati sang papa yang duduk di antara bangku besi sekolah, menyilangkan salah satu kakinya sembari menjaga beberapa barang Brielle.

“your dad?”

“euhmm”

Salah satu sahabat Brielle muncul dari balik punggungnya “all parents always disappointing, but look at the age he make, bri. Habis ini kita hidup jauh dari mereka, akan lebih banyak penyesalan kalau yaa bad things happened”

“like what?”

“broke or yaa maybe would be worest”

Ribuan kilo akan menghalangi untuk bertemu lebih sering dengan Papa, tidak bisa menyaksikan Paphu yang mengurus segalanya yang merepotkan setiap pagi.

Brielle mendegus pasrah, sebelum akhirnya menghampiri papanya “paphu sama adek mana?”

“di mobil, adek ngantuk soalnya. Bri udah?”

“udah”

Menyisakan segelintir orang salah satunya Brielle dan Papa yang jalan di pinggir taman sekolah untuk mencapai mobil mereka, seribu bahasa hanya sepoi angin yang berbisik.

Brielle memilih berjalan di belakang sang papa, sembari memainkan ujung bajunya. Sesekali melirik sepatu si papa yang mengkilap lebih cerah dari sedan miliknya.

Sejak kapan lalu ia berfikir, hubungannya dan Papa menjadi jauh seperti ini. Setiap obrolan menjadi canggung, rasanya selalu sakit hati setiap mendengar kalimat-kalimat papa, bahkan Briella sudah lama tidak lagi percaya dengan pria yang jauh lebih lama merawatnya. Sebab segala sesuatunya ia hanya mengandalkan Paphu yang hadir untuknya dalam segala kondisi.

“papa”

“ya bri?”

“gakpapa”

Nara menyambut Brielle dengan sebuah gandengan, mengundang putrinya untuk tidak membuat jarak.

Tangannya di genggam erat, mengingatkannya hari-hari dimana hanya ada dia dan papa. Melewati hari-hari di New York dulu, menghabiskan malam di rumah hanya berdua. Brielle tertunduk, menyembunyikan haru dari pelupuk matanya, sebab lidahnya kelu untuk mengutarakan ia rindu papanya.

“jaga diri nanti kalau sudah jauh, bri harua belajar berhemat, belajar yang rajin, untuk bri sendiri dan untuk paphu” namanya tidak disebut seolah tau, kelayakannya mungkin ada diurutan terakhir dalam hidup putrinya. Tetapi Brielle menyambut kalimat itu “untuk papa juga”

“oh iya, ketinggalan ya kak”

“tadi papa ngurusin surat-surat buat apartmen brielle dulu jadi terlambat, papa minta maaf ya”

“iya pa”

Lega mengahampiri, dagunya yang merunduk dibawa untuk menatap langit-langit, sesekali tangannya diayun oleh Papanya yang menenteng semua barang-barang miliknya di tangan yang lain “papa bangga sama kakak”

“papa” rengeknya, sebelum akhirnya tumpah juga haru itu. Kata sederhana yang disusun menjadi hadiah terbaik untuknya. Brielle anak yang tidak pernah menuntut, selalu menyimpan kemauannya sendirian, lebur juga dengan rasa bangga dari Papanya yang memeluknya.

Putrinya yang selalu minta gendong sampai usai dua belas tahun itu, sekarang sudah hampir menyetarainya.

“jangan lupa berterima kasih sama paphu ya, kalau gak ada paphu bri gak akan jadi hebat kaya sekarang”

“iya”

“ya sudah jangan nangis, adek udah minta pulang”

“love you pa”

“love you so much kak”

Jarang-jarang terjadi rumahnya akan ramai untuk sebuah pesata sederhana atas kelulusan putrinya, suatu hal yang semua dibanggakan semua orang saat ini. Yang mendadak ikut repot dengan kepindahan si sulung, melupakan bungsu yang lalu merengut tak diperhatikan.

“ini nih rambutnya iket aja sama karet lagi, ya kalau ngambek abelle”

Dan benar setelahnya anak itu menangis, mencari perhatian kepada oma opanya. Mengadu jika sang Papa itu selalu iseng.

Ya meski semua tau, Abelle juara dalam meromantisasi situasi.

Malam hangat yang diciptakan oleh keluarga itu berangsur mengilang, setelah malam mulai larut, satu per satu mulai beristirahat, meninggalkan Phuwin dan Nara berdua di taman samping rumah mereka.

Dengan dua gelas teh hangat yang dibuat Nara mereka menikmati suara jangkrik yang mengerik.

“makasih ya, kamu udah belajar nurunin ego kamu yang lebih tinggi dari eiffel itu nar”

“daripada kamu ngomel terus sebenernya”

Phuwin memutar bola matanya, jengah pada pria di sampingnya.

“lumayanlah ada yang tereliminasi dari rumay satu, tinggap abelle aja biar kita bisa berduaan”

“kamu gak sedih apa brielle mau pergi jauh?”

“sedih tapi gak sedih”

“sinting” gumam Phuwin.

“sedih phu, sangat sedih. Tapi gimana namanya anak punya mimpi masa dicegah? begitu juga adek nanti”

Secangkir teh di malam hari, dengan suasana haru bahagia, obrolan dua orang tua yang ngalor ngidul soal anak-anak mereka. Berangsur berganti menjadi ke inti hati masing-masing. Ketika Nara menggenggam tangan Phuwin, mengusap punggung tangan itu.

“selain aku belajar ngurangin ego, aku juga mau belajar ngerti kamu lagi, rasanya udah lama kita gak punya waktu berdua sering berantem karena hal-hal sepele yang harusnya aku gak timbulin”

“ini serius atau nanti diulangin lagi?”

Nara menghela nafasnya sejenak “galon aja diisi ulang isinya air lagi, apalagi aku phu, maksud aku ya pelan-pelan” Phuwin tergelak sesaat “iya nara, papa brielle. Aku juga ngerti kok, selama kamu gak selingkuh aja aku selalu maafin kamu”

“ngebayangin aku selingkuh aja gak pernah yang musuhin aku dua perempuan bawel, yang satu bri yang satu adek”

Sejuk angin malam kemudian menyelinap, menarik dua orang dewasa agar mendapat rasa hangat melalui sebuah kecupan-kecupan manis yang diselingi senyum keindahan. Nara memindahkan tangannya untuk merengkuh bahu sempit Phuwin, memudahkannya untuk mengecup setiap inti dari rasa di atas plum merekah yang ia sesap perlahan.

Menciptakan penggutan-panggutan liar yang menjelajah hingga keinti dari rasa itu, menimbulkan gulungan benang bening yang membasahi sudut-sudut bibir sebagai jejak bekas cinta yang tertinggal.