Ay
5 min readDec 22, 2023
Braveness

Diluar hari mulai gelap, Surabaya saat jam pulang begitu padat hingga membuat Phuwin jengah di dalam mobil bertiga menjadi bagian dari Nata dan Pond.

Kepalanya bersandar pada jendela kaca mobil, bersedekap dan memejamkan mata. Pilihan terbaiknya pura-pura tidur.

Sebab sejak tadi Nata terus berceloteh tentang keseharian, kebiasaan bahkan kedekatan mereka, belum lagi Nata yang duduk di belakangk terkadang menendang kursinya di samping Pond tidak tau itu sengaja atau tidak tapi itu cukup menganggu yang sedang berusaha menulikan telinganya.

“stop it! nat can’t your feet stay still? segitunya gak punya manners ya?!” ucapnya tenang dalam posisinya yang masih di tempat semula.

Phuwin tidak sama sekali sakit hati atau kekanakan seolah ia cemburu, hubungan Nata dan Pond satu hal yang tidak bisa ia rubah. Janjinya pada diri sendiri masih teguh ia tidak menaruh hatinya pada siapapun, hanya Nata terlalu banyak bicara. Seluruh orang tau sedekat apa keduanya.

Tidak peduli dengan suasana yang mendadak sunyi Phuwin semakin menyamankan posisinya, mengabaikan suara klakson, suara-suara bising yang membuatnya lelah.

Sampai ia merasa hangat tubuhnya di selimuti kemeja Pond yang tergantung di bagian belakang.

Phuwin menggeliat menyadari hanya tinggal ia dan Pond disana “phu maaf”

“norak aja, lagian kenapa sih gak bisa banget diem. Iya aku tau kalian deket banget kaya nasi keinjek juga kalah lengket tapi berisik mana jok nya ditendang-tendang ganggu tau gak”

“bener ya kata kak love kamu bawel sebenernya”

Phuwin mengulum bibirnya, pipinya diusap oleh Pond yang sudah menyunggingkan senyuman.

Hangatnya menjalar ke relung hati, Pond benar-benar pandai membuatnya berada dalam kehangatan yang belum pernah ia rasakan.

“biasanya kalau orang malu itu senyum gak kaku gini, coba senyum”

“apasih aneh” ucapnya memalingkan wajahnya keluar jendela.

Malam itu miliknya Pond menepati janji untuk pertama kalinya mengelilingi kota Surabaya yang padat, terjebak dalam macet dan berakhir di depan rumah Pond.

Mobilnya berhenti namun mesinnya masih menyala di dalam garasi, Pond menahan tangan Phuwin yang hendak membuka pintu

“kenapa?”

Pond sudah bersandar pada kursinya menatap kearahnya “let me love you”

“i let you, but don’t force me to do the same”

“sure”

Pond terpana manatap raut yang sama sekali tidak berubah, namun sepasang mata di depannya mengisyaratkan kelegaan. Phuwin mengarahkan telunjukknya menyentuh pipi Pond “aku gak pernah diusap kaya tadi mas pegang pipiku, biasanya ditampar papa hahaha jadi itu rasanya diusap. baru tau”

“aku lihat waktu ke rumah sama papa, bekasnya kelihatan”

Phuwin tersenyum kecut ia ingat rasanya panas hingga dalam mulutnya. Tidak lupa bagaimana papa nya terus memusuhinya, maka saat mengenal keluarga ini Phuwin menaruh sedikit penerimaan. Pernah terlintas ingin mengakhiri hubungan ini tapi hangatnya keluarga Pond membuatnya ingin tinggal sejenak lebih lama sekalipun tidak dicintai oleh pria dihadapannya.

“heh heh! turun” suara Pak Sony mengendong kucingnya dari dalam rumah membuyarkan pandangan dua insan yang sedang beradu tatap dengan senyuman yang muncul terhipnotis.

Jika saja Phuwin tidak mengenal siapa Sony mungkin akan mengira itu salah satu pekerja rumah ini. Mengenakan kaos tipis dan celana tenis tidak menggunakan alas kaki dan rambutnya acak-acakan. Pria paruh baya yang selalu menyambutnya seperti anaknya sendiri begitu ramah menyenangkan untuk ia memberikan senyumannya.

“om” Phuwin mencium tangan pemilik rumah menyapa dengan sopannya.

“masuk-masuk, kok gak bilang mau kesini”

“mas pond yang ajakin, hla kui mobil e kan tadi dibawa mbak jao”

“oalah yawes nginep mas? mbak jao udah tidur capek kaya e”

“iya” Pond menyela menjawab lebih dulu, mengandeng Phuwin menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Kamar Pond berubah, tidak sama. Foto-foto bersama Nata tidak ada lagi, tersisa foto keluarga dan foto Jaoying di atas nakas.

Sofanya berubah tempat menghadap ke arah jendela kamar.

“kamu smoking gak mas?”

“kadang, kenapa?”

Oh, Phuwin mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya. Pemilik kamar itu mengernyit seingatnya Phuwin sama sekali tidak tercium nikotin bibirnya juga tidak memiliki rasa manis serta asam dari tembakau.

“sejak kapan?”

“lama, apasih aku udah gede ya gak usah aneh gitu”

“gak nyangka, so we can smoke and kiss in the long night”

“no kiss ewww”

Angin malam menerpa masuk ke dalam, Phuwin sudah selesai mandi, menyalakan rokok membuka ipadnya membiarkan lengannya menjadi sandaran untuk Pond yang sama sedang bekerja.

Suara kucing, dentingan jarum jam masuk bergantian ke dalam telinga mengiringi konsentrasinya mengerjakan pekerjaan menyesap rokoknya bergantian dengan Pond.

“ini sengaja ya? basah mas mah”

“hahahaha lagian fokus banget, ngobrol dong”

“busy”

“busy di kantor ini di rumah”

Ipadnya diletakkan di atas meja, tubuhnya diputar berhadapan dengan Pond lututnya bersentuhan. Pond menghembuskan asap terakhir rokoknya sebelum mematikkannya di atas asbak.

Pipinya disangga oleh tangannya menatap Phuwin lekat “weird! kalau gak kerja tidur aja deh”

“di dunia ini gak cuma kerja dan tidur dek, ngobrol. ngomong apa yang di rasain?”

Phuwin benci jika harus ditodong untuk berbicara ia tidak suka jika harus merencakan kata-kata menjadi kalimat lalu menjelaskan pada orang-orang “gak suka mas, gak bisa ngmg”

“yawes”

Pond tidak lagi memaksa yang ia hadapi ketakutan milik Phuwin yang tidak bisa tiba-tiba ia acak-acak begitu saja.

Mencoba beradaptasi mengenal sosok yang sangat berbeda dari orang-orang yang bisa mengejarkan. Semalam kala ia bersandar di atas perut Phuwin meresapi sedihnya entah kenapa rasa sepinya hilang berganti dengan ketenangan yang membawanya tidur di atas perut Phuwin, halus menyapa malam itu surainya dirapaikan mengingatkannya pada sang ibu yang sering menyentuhnya dengan halus disana.

Pond seperti telah bertemu dengan apa yang membuatnya kesepian, peran ibunya yang tak sekali ia temukan pada Phuwin. Caranya menyentuhnya dan berbicara dari sorot mata yang teduh membuatnya mematikan telfon Nata yang baru saja masuk.

Masam bibir Phuwin mengerucut tanpa sadar “he is your shadow”

“and you my soul, sayang let me fix it step by step”

“give me reason to believe that you would fix it”

Pond memgambil nafas dalam-dalam, mengangkat tubuh Phuwin di atas pangkuannya. Mengenggam jari lentik yang tercium aroma tembakau menciuminya “i only have one reason, you are what i need”

“why?”

“papa love you, you can take care of jao, you cured me of missing mama”

Traffic jam menjebaknya tidak lagi dalam kesedihan kini berubah menjadi rasa baru yang membuatnya menyatu dengan suara jarum jam menyesap bibir Pond merasakan manis nikotin yang membekas disana, Phuwin mencondongkan tubuhnya menekan bibirnya begitu dalam menghabiskan oksigennya di antara rongga mulut yang sama terbuka.

“who said no kiss?”

“me! don’t hurt me” or i can hurt you

Anak sulung Pak Sony sedang terpana, nampaknya jatuh cinta sudah bisa disematkan untu pria yanh terus mengusal kepada si Bungsu Tangsakyuen, sekalipun masih tidak berekspresi setidaknya Phuwin sudah berani memberinya pelukan dan usapan membalas perilaku manja Pond.

Phuwin malas bersaing namun jika harus, ia harus menjadi pemenangnya. Tidak lagi berada dalam kesedihan keberaniannya terpupuk perlahan untuk bersuara, bersama Pond rasanya lebih mudah menunjukkan perasaannya dengan perlahan.

No responses yet