Ay
6 min readNov 11, 2023
Book

Hari minggu yang masih bosan untuk Phuwin hampir sepuluh hari tunangannya belum juga pulang, sulit mendapat kabar. Ia hanya bosan, setidaknya itu pemahamannya tentang hatinya yang terus menuntun afeksi dari yang sedang jauh di negri seberang.

Telunjuknya membalik ujung buku untuk menemukan lanjutan dari bacaannya buku tentang perang dunia kedua saat perlawanan di swiss.

Phuwin perlu mempelajari sejarah-sejarah ini guna mendapatkan referensi untuk club speaking art nya. Sembari sesekali melakukan peregangan pada otot kaki yang pegal karena kegiatan lari paginya Phuwin fokus pada setiap fakta-fakta perang itu.

Fokusnya membuat ia bahkan tidak merasakan hawa dingin di suhu 4° celcius. Dinginnya suhu diluar membuat Phuwin lama kelamaan membawa tubuhnya merosot hingga terbaring di atas sofa dan mulai terpejam karena rasa kantuk efek olahraga tadi.

Sunyi hanya suara penghangat ruangan dan jam dinding yang mengisi ruang rahasia milik Nara.

Seperti mendapat dongeng pengantar tidur sebuah ibu jari yang dingin menyapa pipi merah tomat milik Phuwin hingga membangunkan yang sedang terlelap “lo udah pulang?” matanya masih terpejam dengan suara yang menggumam kurang jelas.

“kenapa tidur disini, gak dingin?”

“dingin, tapi males bangun”

Nara yang baru datang mengambil tempatnya mendesak ruang kosong untuk memeluk Phuwin, diciumin tengkuk dingin didepannya yang beraroma kayu manis.

Phuwin menggeliat tak suka tidur diganggu.

“pindah ke kamar aja, disini dingin”

“nghhh males” Phuwin menolak, tidurnya terasa diganggu. Tangannya meraba mencari yang melingkar pada perutnya lalu ditariknya perlahan untuk dijadikan bantalan di pipinya yang dingin.

Nara membiarkan tangannya dibawa sebagai bantalan tidur Phuwin, ia mulai mengusap pipi halus yang sedikit kering karena hawa dingin. Diangkatnya sedikit kepala Phuwin lalu meneluspkan lengannya untuk tambahan bantalan pria kayu manis di depannya. Kini kedua tangannya telah di kuasi oleh pria itu dengan manjanya sesekali mengusal karena dingin. Penghangat ruangan sebenarnya tidak begitu berfungsi karena ruangan ini beratapkan kaca yang pasti bisa menembus dingin dengan mudahnya.

Tidur siang yang nyenyak dipeluk pangeran yang didamba oleh jutaan orang diluar sana untuk memasang sepatu kaca yang tertinggal. Sedangkan pangeran itu di dalam istananya sedang memeluk upik abu yang bahkan tidak memiliki sepatu kaca, tidak ada yang berharga yang tertinggal selain mata krystal yang terpancar pada cincin pertungan mereka yang tidak pernah terlepas dari jari manis keduanya.

Tubuhnya melipir di tengah kerumunan sengaja agar tidak terlihat oleh putra mahkota yang sudah duduk di public space dengan sekumpulannya yang berada satu meter dari ruang kelas Phuwin tidak jauh namun karena padatnya pelajar hari ini Phuwin berusaha menyembunyikan dirinya. Ia menghindar karena belakangan Nara sering menunjukkan hubungan mereka terang-terangan kadang kala ia merasa kurang nyawam karena tatapan sekitar tidak selalu baik.

Phuwin berhasil lolos bermodalkan mantel dan syal yang menutupi dirinya ditengah keramaian hingga membawanya ke ruang perpustakaan.

Ia mendegus lega saat di dalam ruang perpustakaan yang megah di dalam universitasnya, ia mencari-cari sudut ruang yang sepi dengan buku yang masih sama seperti hari sebelumnya. Phuwin menemukan sudut kosong dengan banyak tumpukan buku mengambil tempat itu untuk membaca.

Seluruh penjuru negri sudah mengenal Phuwin mana kala ia merasa sudah tenang tiba-tiba bukunya di rampas oleh putra mahkota yang sudah bersandar pada rak-rak buku dengan tatapan usilnya “kenapa kabur?”

“mau baca buku, balikin sini”

“alasan, percuma berusaha bersembunyi mereka semua tau siapa kamu, bukan begitu?”

“iya, balikin bukunya”

Nara ikut duduk di bawah bersama Phuwin setelah melepas mantelnya, meminta penjaganya untuk mengawai sekitar area mereka berdua sedang duduk dibalik rak terakhir di sudut ruangan. Ia menyerahkan buku tadi mengambil jemari Phuwin untuk digenggam.

“tema kali ini sejarah?”

“iya, butuh untuk materi speaking art”

“harus tentang perang dunia?”

“tidak juga”

“bagaimana perasaan mu kepada ku, tuan muda?”

Seperti dikejutkan oleh bangkitnya dinosaurus Phuwin tercengang dalam diamnya tidak menjawab beberapa saat membiarkan jarinya dimainkan oleh putra mahkota nya.

“mungkin seperti perasaan ku pada orang tua ku, aku terus memikirkan mereka dan terikat satu sama lain”

“bukan perasaan romantis kalau begitu, hm?” Nara tidak menatap Phuwin kecewa ia justru menyunggingkan senyumannya menatap Phuwin yang juga menatapnya. “tidak perlu buru-buru, tapi jika kamu mau tau. aku sperti sudah tidak bisa hidup tanpa kamu. jadi tidak perlu mengerutkan dahi untuk berfikir keras” jarinya ia bawa mengusap dahi yang berkerut.

“bacalah bukunya aku disini sampai kelas selanjutnya” Nara mengambil earphonenya, menyalakan musik untuk menyumpal telinganya dan terpejam dengan masih menganggegami jari-jari manis dibawah mantel yang ia jadikan selimut.

Sekejap Phuwin berfikir pertanyaan Nara tadi sedikit mengganggunya. Ia tidak ingin pangerannya melepaskan genggamannya meski hanya sedetik saat mengambil earphone tadi. Ia spontan mengambil bagian kanan dari earphone dan mengecup bibir Nara yang membuat pemiliknya terkejut karena gerakan Phuwin yang cepat belum lagi mata terpejamnya tidak menangkap gerak bayangan itu.

“…They don’t know how long it takes
Waiting for a love like this
Every time we say goodbye
I wish we had one more kiss….” — lucky by Jason Mraz

Semakin dalam ciumannya dari bait lirik itu menyalurkan rasa hangat yang membuat Nara meraba mencari buku yang tadi dibaca Phuwin untuk menutupi kegiatan mereka yang mana Phuwin terus bergerak liar mencecapnya.

Dan moment ini menjadikan jelas jawaban Phuwin.

Bahwa rasa bosan Phuwin kala jauh darinya ialah rindu yang memenuhi relung hati. Phuwin mungkin tidak tau jika di ruang rahasianya ada kamera pengintai yang hanya bisa Nara akses.

Setiap hari dari jarak jauh ia mengawasi Phuwin yang menyempatkan singgah disana, dari melukis, membaca buku-bukunya, menari melepaskan penat, menyentuh barang-barangnya dengan ekspresi yang menggemaskan Nara memperhatikan si tampan miliknya setiap hari.

Maka kala si tampan memulai mencicipi bibirnya dengan begitu manis Nara tidak menghalangi apalagi berusaha mengambil alih, ia biarkan hingga tunangannya yang kehabisan nafasnya sendiri.

Dengan mata sayunya ia berbicara dalam diam memberi seratus persen jawaban yang meyakinkan. Dan Nara menurunkan buku itu membawa tangannya memeluk punggung Phuwin.

Sepertinya wangi buku yang di tumpuk di dalam rak akan ia kenang untuk mengingat hari pertama Phuwin nya menciumnya dengan penuh cinta, hari ini dimana Nara sudah menemukan jawaban bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan.

Tidak hanya upik abu nya yang menulis buku dengan tinta warna warni, namun juga ada pangeran tampan yang akan segera mengganti canvas nya dengan cat warna yang kontras mengambarkan isi bawah laut seindah kisah Nemo dibawah laut.

Sibuk,

Menggambarkan akhir bulan januari minggu terkahir ujian mingguan yang memusingkan. Tidak seperti hari sebelumnya kini Nara menunggu Phuwin di luar pintu agar tidak ada lagi yang menyelinap kabur. Bersama Neo dan beberapa penjaganya Nara menunggu pintu di depannya dibuka dengan sabar menunggu hingga si mungil dibalik syal itu muncul.

Nara bersikap hormat menjaga gelar kehormatannya sebelum menarik Phuwin dalam rangkulan “belum makan siang kan? ikut gue” katanya pada teman-teman Phuwin yang dibelakang mereka. Sedangkan yang dirangkul masih belum bisa diperlakukan seperti ini maka ia menyembunyikan setengah wajahnya di dalam syal yang melingkar pada lehernya.

Di meja kantin Nara celingkuan mencari segerombolan sepupunya yang sudah lebih dulu berkerumun seperti biasa. Ini pertama kalinya Phuwin ikut satu meja bersama yang lain di waktu break seperti ini.

Semuanya menyapa dengan ramah tanpa terkecuali Phuwin ditarik oleh Nata yang paling hangat menyambutnya, menawarkan banyak menu makanan untuk dipilih meski pilihannya jatuh pada lunch box yang dikeluarkan oleh Neo masakan miss View kesukaan Phuwin yang langsung diminta oleh Nara untuk tunangannya.

“buat phuwin aja?” celetuk Gemini yang berada paling ujung duduk bersebelahan dengan Fourt yang diam-diam sedang menautkan jari mereka.

“lo alergi seledri gem” acuh, kembali pada Phuwin yang tersenyum kikuk di tengah keadaan yang sekali lagi si dingin ini bisa begitu hangat kepadanya. Lunch Box itu berisi steak dan scone kesukaan Phuwin yang mulai ia ambil untuk dimakan namun terhenti karena disuapan pertamnya Archen tiba-tiba menyambar lalu tertawa bersama yang lain, niatnya hanya untuk bercanda tapi Phuwin terkejut hingga garpunya jatuh tubuhnya mematung ia tidak suka tingkah Archen di tempat umum bahkan di depan tunangannya sekalipun hanya bercanda.

Sepanjang hari setelah kejadian itu Phuwin membaca mimik wajah Nara yang kesal, di dalam mobil menuju pavilion Phuwin bersandar pada bahu lebar tunangannya memainkan cincin yang ada dijari manis pasangannya.

“kalau lihat mata krystal ini gue inget sama kutipan yang gue baca, tidak mungkin membuang berlian untuk mencari batu krikil” Phuwin menyelipkan jari-jarinya disela jari Nara. “kamu berlian itu sayang” bisiknya lalu dengan cicitan yang sangat pelan, membuat Nara tersipu.

Kisah-kisah romantis yang biasanya hanya dibaca Phuwin di dalam rumah sederhananya denga ranjang besi yang berdecit saat ia bergerak kini bacaan itu tercipta nyata di sepanjang jalan saat berada di dalam mobil, pertengkaran tom and jerry yang masih saja kerap muncul dengan diselingi tawa renyah mengisi ruang kosong BMW kerjaan yang membawa mereka. Neo dan supir yang duduk di depan kerap tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat dua insan yang saling menggoda dari balik spion pengawal itu menyaksikan romansa anak muda yang sedang berapi-api.

Tak segan kadang Nara sengaja menciptakan adegan romantis saat menyadari kamera atau tatapan publik menyaksikan tingkah sepasang sejoli yang terkenal seantero negri. Nara juga tidak lagi canggung di dalam pavilion untuk menciumi Phuwin yang sering menolak kemudian menatap kesal dengan ocehan burung grejanya yang merdu.

No responses yet