Ay
7 min readJun 10, 2024
Berlabuh

Paus 52 menjadi begitu mengispirasi karena kisahnya, seekor jantan yang tak memiliki siapapun sepanjang usianya. Nyanyian paus yang menggaung di dasar ribuan meter lautan, tak membuatnya mendapat pasangan di musim kawin yang tak seberapa lama.

Sebesar itu ia berenang, mengitari samudera dari yang terdalam hingga muncul sesekali ke permukaan. Siripnya yang menari, muncul untuk menciptakan cipratan air menggoda betinanya sebab nyanyiannya tak membuat satupun yang tertarik kepadanya.

Berbagai cara dilakukannya untuk membuat paus kesepian itu tak sendirian di lautan lepas.

Begitu ia menemukan cahaya rembula kala senja tiba, siripnya digunakan untuk membuatnya menyentuh ranum oranye itu.

Dia mencoba untuk terbang menyentuh cantik dari warna yang lebih terang, ketimbang gelapnya dasar laut yang membuatnya sendirian.

Suaranya mengudara tak sembunyi-sembunyi lagi di dasar laut, jatuh cintanya lalu kepada oranye yang memancar itu tak lekang lagi oleh waktu. Sepanjang malam tiba, sepanjang ratusan mil dilalui, selalu ia jadikan rembulan itu pelabuhannya untuk bersandar.

“selamat merayakan anniversary mu, captain” salah satu kru deck kapalnya, menyalami paus besar yang menjelma menjadi jantan berbalut baju putih, nahkoda dengan lencana kebanggan.

“terima kasih, tapi aku tidak tau sekarang suamiku dimana. Sepertinya merjauk, karena berhari-hari tidak ada sinyal” suaranya terdengar ragu dengan rona bahagia atas hari jadi mereka, yang lagi-lagi dirayakan dengan jarak yang menyiksa.

Lautan dan rembulan itu tinggal.

Nara beberapa kali mencoba menelfon setelah foto steak itu dilihat dalam pesannya, menelfon orang-orang rumah, rekan kerja suaminya dan semua orang yang sangkutan dengan bulan sabit, mereka tak tahu juga dimana pelabuhannya itu.

Menyeret kopernya dengan tergesa-gesa, Nara memilih taxi tercepat untuk menuju ke bandara, mengambil penerbangan paling awal lalu dan kembali pulang.

Melewati macetnya kota jakarta, polusi ibu kota yang menganggu pernafasannya. Ada rindu yang segera ingin menjumpa bulan sabit, di detik-detik terakhir hari jadi mereka.

Raganya yang lelah tidak dirasa, sebab ada jiwa yang memberontak meminta untuk segera bertemu dengan rembulannya. Beruntungnya, paus besar yang ini mampu meraih setinggi itu semburat oranye di antara gelapnya malam.

Uluran sinarnya yang lalu membuat ia berjalan dengan langkah tepat, dengan setangkai mawar merah sekedar untuk simbol cinta.

Jarinya menekan sandi-sandi apartmen mereka, lampunya menyala dengan dapur yang berantakan, jendela terbuka membiarkan tirai disana beterbangan dengan suara klakson yang berisik menjadi penghantar. Nara kemudian meletakkan kopernya di pinggir meja pantry, meletakkan piring-piring kotor di sink, lalu perlahan menutup jendela menghentikan bisiknya klakson.

“happy anniversary”

“happy anniversary” jawab bulan sabit lesu, kurang dua menit hari sudah berganting. Kala harapannya mendapat balasan pesan sirna, ia justru dihadiahi kedatangan paus besarnya. Yang selalu tiba-tiba datang, menindihnya, mengisi sekat-sekat jarinya yang berongga.

“maaf ya, tidak dinner malam ini”

“terima kasih sudah mengusahakan selalu pulang kalau aku lagi rewel ya ra” tubuhnya memutar untuk dapat lebih jelas memastikan itu memang suaminya, Phuwin kemudian memeluk suaminya dalam rengkuhan yang agresif. Rindu itu menggebu bersama dengan cinta yang tak pernah habis oleh jarak.

Mereka mengikis jarak agar lebih dekat, melepas rindu melalui indra penciuman mereka, aroma-aroma yang dirindukan itu mengobati satu sama lain yang tersiksa oleh jarak yang kejam.

Terlalu kejam hingga sesekali membuat hati yang hangat kadang menjadi gundah, jika memang rembulan selalu bersama jutaam bintan ia tetap berdiri atas sinarnya sendiri. Dan pertemuan singkat rembulan dan paus besar menjadi sempurna, kala yang sendirian bertemu untuk saling melengkapi. Sekalipun jarak yang mereka pertaruhkan.

“aku ngerepotin ya ra?”

“enggak sayang, aku yang janji buat pulang di hari ini. Aku yang telat”

“maaf aku banyak iri dengan orang-orang, padahal ada kamu yang lebih dari orang-orang”

“kamu kangen sama aku jadi begitu, aku memang ngangenin sih jadi aku maklum”

Phuwin mendegus di bawah kungkungan lengan suaminya di atas tempat tidur mereka, dan lalu kedua tangan halus itu menangkup pipi si sayang, mengabsen setiap sudut rupa pausnya dan membelai manja untuk dirasakan rasa utuh yang memenuhi hatinya.

“aku boleh mandi dulu? habis itu aku kelonin suami mungilku ini”

“nonton kamu mandi boleh?”

“boleh aja, ayo”

Senyumnya merekah, cekikikan karena merasa aneh dengan keinginannya menyaksikan suaminya mandi.

“gak ah, malu nanti aku mupeng”

“memang sekarang gak lagi mupeng?”

“hnggg?”

“pipi kamu anget, dari tadi gigitin bibir, kamu lihatin bibir aku terus, apalagi?”

“ck males kamu suka ngebaca aku!”

“karena aku suamimu” nada bangga itu terdengar, sama hal dengan rasa bangga yang juga menyelimuti si bulan sabit saat ini.

Jemarinya membantu untuk membuka kait-kait kancing di kemeja putih suaminya, kemauannya sendiri untuk membuka seragam yang membalut jantannya, semakin terlihat tampan nan menawan.

Kemeja putih itu kemudian dilipat untuk dimasukkan ke dalam keranjang yang berbeda, tidak tercampur dengan pakaian yang lain. Phuwin tergila-gila dengan harum yang melekat sebab setelahnya ia masih sempat menghirup kain itu, membuat prianya tersenyum.

“aku disini tapi yang dicium kain”

“bawel, mandi sana aku mau tidur”

“sweet dream sayang, nanti aku susul”

Beranjak dari satu ke yang lainnya, meruntun susunan kehidupan keluarga kecilnya. Nara yang lelah tapi ada suami kecilnya yang lebih lelah, sisa-sisa tenaganya untuk sejenak memberi hadiah atas kesabaran yang dimiliki kekasih hatinya itu.

Membersihkan sudut rumah di malam hari karena berantakan, menghibur sedikit hati si sayang yang sudah pulas meringkuk.

Dini hari hampir pagi Nara baru merangkak di atas tempat tidur untuk mengisi daya tenaga, ia mencuri ciuman dari bibir kecil suaminya yang sudah mengdengkur halus.

Nara menatap dengan penuh cinta, ia tersenyum sesekali jika ciumannya membuat Phuwin mengernyit dalam tidur, namun ia terus mengusik, dan perlahan kecupannya berbalas, suaminya terganggu dengan lesu membalas panggutan itu tak bertenaga.

Sedetik menciptakan benang saliva yang kemudian membuat Nara merasa lebih dari cukup sensasi, mengisi daya untuk rasa lelah.

Acara pagi untuk merayakan anniversary, di hari yang terlambat satu hari. Di mulai dari sini, GBK.

Nara mengikat tali sepatu suaminya, memastikan sudah kencang dan mulai berlari mengelilinginya untuk satu putaran yang melelahkan.

Bersama membagi energi yang dipompa melalui, deru nafas yang bersautan. Pagi yang cerah untuk kedua pasangan sehidup semati. Phuwin merasan ringan dengan langkahnya.

Ramai-ramai orang yang melakukan hal yang sama, meski baginya tidak ada yang sebagaia dirinya. Yang menghabiskan dua kali putaran, lalu menyesarah dan kedua betisnya saat ini dipijat oleh sang suami di pinggir bahu jalan.

“capek, udahan ya”

“iya, aku gendong balik ke mobil?”

Phuwin merentangkan tangannya untuk di gendong di punggung suaminya.

Kerumunan yang berseliweran orang-orang mulai menyadari pasangan yang sedang meromantisasi pagi mereka. Satu per satu menyapa Phuwin, memfotonya tanpa ijin.

“ra gakpapa?”

“gakpapalah, seneng aku nanti masuk berita gosip sama suami aku”

Selalu saja suaminya itu menjadi pil untuk segara rasa negatif yang menyelimutinya, Phuwin mengeratkan pelukannya kala gendongan itu eratkan.

Sampai di dalam mobil mereka, dan menjadi hanya mereka saja berduaan.

“lucu ya kamu, kak phuwin sama suaminya ya? kak phuwin sama siapa? kak phuwin so sweet banget? kak phuwin-”

“diem, ngeledek mulu” sela Phuwin pada suaminya yang meledeknya barusan.

“kalau di kapal aku juga digituin kok, tiap aku dateng kerja. Mereka selalu muji-muji kamu dari sosial media kamu itu”

“gakpapa?”

“gakpapalah, bangga aku. Kaya tadi orang-orang kenalin kamu, aku bangga”

Phuwin menyeringai manja di hadapan suaminya yang memang sangat bangga, dengan apa yang dimiliki suaminya.

“bulan sabit”

“ya?”

“just little prize i called love”

Nara mengeluarkan secarik kertas, dari amplon berlogo perushaan yang tempatnya bekerja. Bluesea.

Isinya mungkin hanya selembar namun ia harap itu menjadi kado untuk pernikahan mereka yang kedua tahun.

Selebar kertas yang berisikan, ijin tinggal Phuwin di Singapore untuk, menjadi wakil utamanya, diakui sebagai pasangan yang berhak atas hak-hak pendamping nahkoda. Sebab selama ini Phuwin tidak bisa tinggal lebih dari satu bulan, kadang kala ada pekerjaan Nara yang juga tidak bisa membuatnya sulit pulang ke Jakarta.

Pertikaian itu sempat menjadi bumbu di rumah tangga mereka yang baru seumur jagung, dan diam-diam Nara mengusahkan sebuah usaha kecil agar mereka bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama, dalam suka dan duka.

“baru sekarang terbit ijinnya, nanti dibantu pihak kapal buat urus dokumen kamu tinggal”

“ra, aku seneng. Terima kasih sayang, terima kasih selalu mengusahakan yang kadang mustahil, kamu gak perlu capek lagi lari-larian ngejar pesawat. Aku yang bakal nungguin kamu pulang setiap hari” suaranya bergetar, antara haru dan bahagia itu menyatu. Ac mobil mereka mendadak hangat karena sikap Nara yang meleburkan satu masalah-masalah di rumah kecil mereka ini.

Phuwin merengkuh paus besarnya dengan erat “kamu tuh selalu kaya gini, aku gak bisa gak sayang sama kamu. Aku mau sama kamu selamanya, pokoknya sama kamu”

“iya bulan sabit, aku captain rumah kita juga, kan? dan ini yang aku lakukan, pengambil keputusan besar diantara masalah-masalah kita”

Paus besar itu tidak akan membuat dirinya menyesal setelah mampu meraih rembulan, sepanjang malam harus ia jaga, di sepanjang hari harus ia nyanyikan. Keindahan antara romansa dasar laut dengan penghuni bima sakti itu, menjadi kekal.

Phuwin meninggalkan jejak bahagianya pada ranum suaminya, ia memimpin untuk sekedar melepas hal baik di hatinya untuk sang suami.

“kadang aku mikir tita itu bego, nolak kamu. Soalnya dia nyia-nyiain pria yang sebucin kamu ini, tapi aku beruntung jadi seleksi alam terakhir yang hidup sama kamu”

“move on kali, yang dibahas masa lalu mulu”

“ah ngeselin ya! aku muji kamu tau gak?!”

Rengutannya gemas, mengundangnya untuk mencuri kecupan suaminya, lalu ia menjajaki patahan antara leher dan bahu suaminya untuk ditinggali bekas cinta.

“udah, tanda bukti kamu setuju sama surat persetujuan itu”

Phuwim berdecak, sebab ada merah lebam di atas lehernya yang tak bisa ia tolak. “dasar nyusahin, seminggu nih nanti”

Bahkan jika bisa selamanya Nara ingin meninggalkan jejak itu sepanjang waktu. Agar tak perlu lagi susah-susah berrenang-reneng hanya untuk menjaga bulan sabitnya.

Hidup mereka segara akan dimulai dibabak baru diatas selembar kertas itu, jarak tak lagi masalah. Sebab seribu cara untuk membuat lautan dan bulan menjadi sangat dekat.