Ay
4 min readJun 21, 2024
24

Canvas bag lusu sedikit menguning dengan lukisan seekor paus menari diselempangkan di salah satu bahunya, yang dibalut kemeja putih tak dikancingkan untuk merangkapi kaus dalam senada di dalamnya.

Secangkir mug berisi susu kedelai cokelat berada di genggamannya dengan satu tangan lainnya membawa buku jurnal kecil, sebesar telapk tangannya. Berisi rencana-rencana sehari-hari, yang disusun dengan rapi.

“pergi dulu ya”

“pulang gak?” suara paruh baya dari wanita yang berparas mirip dengannya bertanya dengan lembut.

“nginep kayanya” jawabnya singkat sebelum lalu mengendari sedan hitam, BMW.

Perjalanan romantis dengan sunset yang sudah mulai malu-malu menunjukkan sinarnya, diiringi dengan lantuan lagu dari radio yang acak berputar menemani setiap mil yang ia tempuh sendirian.

Tujuan masih selalu sama disetiap tanggal dua puluh empat. Pesisir pantai di balik pegunungan batu di kulon Jogja.

Selembar kain di bawah pohon, di tempat yang lagi-lagi ia memilih untuk menggelar tempatnya membuat jurnal sore ini.

Jahe yang ia bawa sesekali diicip sebelum diletakkan di atas tas canvasnya.

“aku datang” ucapnya pada diri sendiri, dengan seulas kerinduan yang tercetak dari bibirnya.

“mas sendirian lagi?”

“iya pak”

“mau ditungguin?”

“belum habis po jualannya? tak beli aja terus bapak pulang”

Kebiasannya datang di waktu yang sama, membuatnya dikenal oleh beberapa pedagang kaki lima beralaskan terpal untuk gubug kayu dan gabah yang dibentuk sedemikian rupa, menjadi mirip saung pinggir pantai.

Pak yono, barusan yang menyapanya. Suaranya halus, sedikit serak karena usia. Selalu menemaninya sampai malam tiba dan menuntunnya di villa terdekat tempatnya menginap. Lagi-lagi kebiasanya di setiap tanggal dua puluh empat.

Namun kali ini rasanya rindu itu hanya ingin sendiri tanpa ditemani, ia merogoh kantongnya mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli dagangan itu agar si bapak baik hati itu segera pulang.

Ini hanya sekedar niat baiknya saja, hitung-hitung semacam perbuatan amal yang dilakukan setiap bulan.

Selesai berbincang singkat, netranya kembali menatap senja yang tak lagi malu-malu itu. Dengan menghela nafas yang berat, meyentuh mug berisi susu kedelai yang tidak lagi panas.

“apa kabar?” tanyanya. Tak bergeming tatapanya pada hamparan lautan yang tak menjawab sapanya.

Jari manisnya yang masih dihiasi silver berkilau, membuka lembar kertas yang masih kosong dengan perlahan “hari ini mami sama papi pulang ke jakarta, soalnya Gemini minta di jemput di bandara. Manja banget anak itu” dia mulai bermonolog dengan suara bersisik pasir yang tertiup angin “ghea, bentar lagi bakal dipinang sama pacarnya. Lucu ya adek-adek kita sudah besar sekarang” kali ini sembari menggoreskan tinta di atas kertas cokelat lusuh yang berbau sedikit lembab ia sembari bercerita “hidup ini berjalan, tapi rasanya aku masih disini aja. Aku masih setia nunggu kamu pulang setiap kali tanggal ini tiba”

Sekoci itu datang ke daratan kala ini, dengan sepuluh awak kapal dari salah satunya menggenggam jam tangan serta silver serupa seperti miliknya.

Lalu sepenggal cerita itu sampai dari bibir biru, kedinginan yang terbata berkata “captain, save our life. And he tell us to bring this back, he said that now he is already arrived at home”

Dua puluh empat, tanggal dan waktu yang sama.

Mimpi buruk itu menjadi nyata.

“ratusan orang sudah kembali berkumpul dengan keluarganya, tersisa aku yang gak mendapat hangatnya bertemu kembali keluarga mereka” jurnal itu tidak lagi ia teruskan sebab ombak kencang dibarengi angin yang tak tenang menjatuhkan mug susu kedelainya.

Bibirnya lalu mengerucut “iya aku gak sedih kok, aku kangen aja” suaranya mulai bergetar. Sebab kala ia tengah mencoba menyeka tumpahan air itu bulan sabit telah muncul, bulan itu datang dengan gaungan paus biru yang menyemburkan air asin ke udara bersama sekawanannya.

Tak hanya itu, seolah sedang menghibur yang terjerembab dalam kesendirian. Paus itu bernyanyi bersautan, mengibaskan ekornya hingga menciptakan gelombang air yanh cukup tinggi menyentuh ujung-ujung kakinya.

“Lautan tidak melihat, tidak juga berbicara. Tetapi bisa merasakan duka yang muncul di dekatnya. Sebab dalamnya air laut menyimpan banyak jiwa yang masih hidup sepanjang garis laut membentang”

Kalimat itu terngiang, saat ini ketika rasanya raihan jarinya mampu menggapai paus-paus itu. Tumpukan air mata yang tak kuasa ditahan, meletak menjadi pasang yang tak mengenal surut bersembunyi di antara lututnya yang ditekuk menopang lengannya.

Percuma terisak. Namun tak tangan menahannya.

Percuma bersedih. Tetapi tidak ada alasan untuk tersenyum.

Rindunya hanya terbayar dengan suara nyanyian paus dan indahnya sinar rembulan. Mengandalkan deburan ombak untuk membawanya seolah tengah di usap manja oleh lembutnya angin malam.

Guguran daun yang terlahan menyapu surainya, satu helai, dua helai hingga ketiga kalinya.

Seolah memang sedang merasakan hangatnya ruas jari yang ia rindukan, menyisir surainya yang acak-acakan oleh angin.

“aku kangen, andai setidaknya aku bisa peluk nisan kamu, atau maki-maki tubuhmu yang kaku yang kurang ajar ninggalin aku, ra aku masih terus berharap setidaknya kamu pulang meski seujung jari aja” cicitnya dengan dirinya sendiri. Dan sekali lagi paus-paus berkelompok itu masih belum beranjak, mereka bernyanyi dengan sonar yang merdu. Menyuarakan jiwa yang hidup meski raganya tak bisa lagi kembali.

Nara telah menaklukkan lautan, menyelamatkan ratusan jiwa yang tengah hangat menyedu susu kedelai panas di atas meja makan. Mengukir jutaan tawa yang tak bisa dirasakan oleh bulan sabit. Bulan yang kembali bersinar sendirian, menatapi paus-paus yang sedang berkelompok menari dibawah sinar kuning emas itu.

“nanti kalau aku lihat lagi paus besar yang sendirian, aku janji gak mau nemenin lagi. Gak enak tau sendirian” suaranya bergumam, jari manisnya menyeka air mata yang sudah mulai menitis literannya.

Ia menatap sisi kosong di sampingnya “i wish you were here”.

Dunia yang sejatinya sejak awal tak sama, tak bisa menyatu antara hamparan lautan dengan milyaran isi bima sakti. Membuatnya tak bisa menatap kosong yang terisi oleh bayangan yang mulai buram sedang membalas senyumnya, tengah menatap sorot bulan sabit dengan binar serupa.

“i’m here, bulan sabit”

Melalui paus-paus itu, suaranya menjawab kerinduan yang sama.

Dimanapun.

Luas lautan menyimpan jiwa yang tetap hidup, menyapa dan meminta sebanyak kata yang terucap. Maka gelap dan indahnya lautan akan membalas keinginan itu. Seperti bulan sabit yang setiap malam ditemani oleh paus-paus yang bernyanyi.